Saya dan keluarga mengucapkan SELAMAT TAHUN BARU 1430 HIJRIYAH DAN TAHUN BARU 2009 MASEHI. Semoga tahun ini dipenuhi dengan rahmat dan hidayah-Nya. Kita berharap menjadi tahun yang penuh cinta kasih. Pertikainan dan peperangan yang hari ini mendera Palestina bisa segera diakhiri.
Saya mengucakan terima kasih kepada semua pengunjung blog sederhana ini. Tentu saja blog ini belum bisa memberi kepuasan kepada semua pengunjung, karena memang saya buat dengan segala keterbatasan. Walaupun begitu saya masih akan terus belajar dan berusaha memperbaiki sedikit demi sedikit sesuai kemampuan. Karena itu saran atau kritik akan sangat berharga bagi saya apabila Anda sudi meninggalkannya di buku tamu atau di kotak komentar yang saya sediakan pada setiap posting.
Mengenai Saya
Rabu, 31 Desember 2008
Senin, 22 Desember 2008
Profil Juara II Lomba Posyandu Gerbangmas Kabupaten Lumajang
Poyandu adalah UKBM (Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat) terpenting dalam penyelenggaraan desa siaga. Lebih-lebih di Kabupaten Lumajang, karena posyandu menjadi basis Gerbangmas (Gerakan Membangun Masyarakat Sehat). Posyandu gerbangmas adalah posyandu plus yang menjadi wahana pemberdayaan masyarakat dengan bidang kegiatan tidak melulu kesehatan tetapi juga KB, kewanitaan, lingkungan hidup, sosial, ekonomi, keagamaan dan lain-lain. Karena itu posyandu tidak hanya menjadi binaan puskesmas, tetapi juga semua sektor terkait di bawah koordinasi camat.
Label:
CLTS,
desa siaga,
gerbangmas,
lumajang,
pemberdayaan,
posyandu,
PSN-DBD,
puskesmas,
UKBM
Minggu, 21 Desember 2008
Kata Bijak yang Tidak Bijaksana 2
Kata Bijak 2: Rokok tidak mengurangi umur karena hanya Allah yang menentukan umur setiap manusia. Ngapain takut merokok?
Kalau kata rokok diganti kata racun maka kalimat di atas menjadi: Racun tidak mengurangi umur karena hanya Allah yang menentukan umur manusia, bukan racun. Ngapain takut racun? Tapi..... coba siapa yang berani minum racun sekarang, kecuali memang mau bunuh diri.
Sabtu, 20 Desember 2008
Bakti Sosial Donor Darah
Rabu tanggal 17 Desember 2008 telah dilaksanakan kegiatan donor darah bertempat di SD Senduro 1. Kegiatan dilaksanakan atas kerja sama PMI Ranting Senduro, PGRI dan dengan panitia hari jadi Lumajang. Donor darah yang merupakan bagian dari rangkaian kegiatan ulang tahun Lumajang ini diikuti tidak kurang dari 60 donor. Mereka terdiri dari anggota Korpri, Darma Wanita dan PKK Kecamatan Senduro yang telah dinyatakan memenuhi syarat donor darah.
Adapun syarat menjadi donor darah sebagaimana ditetapkan oleh PMI adalah sebagai berikut:
- Umur 17 - 60 tahun
- Temperatur tubuh : 36,6 - 37,5o C (oral)
- Tekanan darah baik ,yaitu:
* Sistole = 110 - 160 mm Hg
* Diastole = 70 - 100 mm Hg
- Denyut nadi; Teratur 50 - 100 kali/ menit
- Hemoglobin:
* Wanita minimal = 12 gr %
* Pria minimal = 12,5 gr %
Jumlah penyumbangan pertahun paling banyak 5 kali, dengan jarak penyumbangan sekurang-kurangnya 3 bulan. Keadaan ini harus sesuai dengan keadaan umum donor.
Seseorang tidak boleh (kotra indikasi) menjadi donor darah pada keadaan:
- Pernah menderita hepatitis B
- Dalam jangka waktu 6 bulan sesudah kontak erat dengan penderita hepatitis
- Dalam jangka waktu 6 bulan sesudah mendapat transfusi
- Dalam jangka waktu 6 bulan sesudah tattoo/tindik telinga
- Dalam jangka waktu 72 jam sesudah operasi gigi
- Dalam jangka wktu 6 bulan sesudah operasi kecil
- Dalam jangka waktu 12 bulan sesudah operasi besar
- Dalam jangka waktu 24 jam sesudah vaksinasi polio, influenza, cholera, tetanus dipteria atau profilaksis
- Dalam jangka waktu 2 minggu sesudah vaksinasi virus hidup parotitis epidemica, measles, tetanus toxin.
- Dalam jangka waktu 1 tahun sesudah injeksi terakhir imunisasi rabies therapeutic
- Dalam jangka waktu 1 minggu sesudah gejala alergi menghilang.
- Dalam jangka waktu 1 tahun sesudah transpalantasi kulit.
- Sedang hamil dan dalam jangka waktu 6 bulan sesudah persalinan.
- Sedang menyusui
- Ketergantungan obat.
- Alkoholisme akut dan kronik.
- Sifilis
- Menderita tuberkulosa secara klinis.
- Menderita epilepsi dan sering kejang.
- Menderita penyakit kulit pada vena (pembuluh darah balik) yang akan ditusuk.
- Mempunyai kecenderungan perdarahan atau penyakit darah, misalnya, defisiensi G6PD, thalasemia, polibetemiavera.
- Seseorang yang termasuk kelompok masyarakat yang mempunyai resiko tinggi untuk mendapatkan HIV/AIDS (homoseks, morfinis, berganti-ganti pasangan seks, pemakai jarum suntik tidak steril)
- Pengidap HIV/ AIDS menurut hasil pemeriksaan pada saat donor darah.
Adapun syarat menjadi donor darah sebagaimana ditetapkan oleh PMI adalah sebagai berikut:
- Umur 17 - 60 tahun
- Temperatur tubuh : 36,6 - 37,5o C (oral)
- Tekanan darah baik ,yaitu:
* Sistole = 110 - 160 mm Hg
* Diastole = 70 - 100 mm Hg
- Denyut nadi; Teratur 50 - 100 kali/ menit
- Hemoglobin:
* Wanita minimal = 12 gr %
* Pria minimal = 12,5 gr %
Jumlah penyumbangan pertahun paling banyak 5 kali, dengan jarak penyumbangan sekurang-kurangnya 3 bulan. Keadaan ini harus sesuai dengan keadaan umum donor.
Seseorang tidak boleh (kotra indikasi) menjadi donor darah pada keadaan:
- Pernah menderita hepatitis B
- Dalam jangka waktu 6 bulan sesudah kontak erat dengan penderita hepatitis
- Dalam jangka waktu 6 bulan sesudah mendapat transfusi
- Dalam jangka waktu 6 bulan sesudah tattoo/tindik telinga
- Dalam jangka waktu 72 jam sesudah operasi gigi
- Dalam jangka wktu 6 bulan sesudah operasi kecil
- Dalam jangka waktu 12 bulan sesudah operasi besar
- Dalam jangka waktu 24 jam sesudah vaksinasi polio, influenza, cholera, tetanus dipteria atau profilaksis
- Dalam jangka waktu 2 minggu sesudah vaksinasi virus hidup parotitis epidemica, measles, tetanus toxin.
- Dalam jangka waktu 1 tahun sesudah injeksi terakhir imunisasi rabies therapeutic
- Dalam jangka waktu 1 minggu sesudah gejala alergi menghilang.
- Dalam jangka waktu 1 tahun sesudah transpalantasi kulit.
- Sedang hamil dan dalam jangka waktu 6 bulan sesudah persalinan.
- Sedang menyusui
- Ketergantungan obat.
- Alkoholisme akut dan kronik.
- Sifilis
- Menderita tuberkulosa secara klinis.
- Menderita epilepsi dan sering kejang.
- Menderita penyakit kulit pada vena (pembuluh darah balik) yang akan ditusuk.
- Mempunyai kecenderungan perdarahan atau penyakit darah, misalnya, defisiensi G6PD, thalasemia, polibetemiavera.
- Seseorang yang termasuk kelompok masyarakat yang mempunyai resiko tinggi untuk mendapatkan HIV/AIDS (homoseks, morfinis, berganti-ganti pasangan seks, pemakai jarum suntik tidak steril)
- Pengidap HIV/ AIDS menurut hasil pemeriksaan pada saat donor darah.
Jumat, 19 Desember 2008
Kata Bijak yang Tidak Bijaksana 1
Kata Bijak 1: Jangan takut banyak anak karena takut miskin karena setiap anak yang lahir sudah disediakan rejekinya.
Komentar: Sebuah kalimat yang sangat bijak, tidak salah dan sebagai ummat beragama saya percaya itu benar. Kalimat ini masih sering saya dengar dan bahkan dari pejabat yang berpengaruh bagi orang banyak. Saya tidak hendak mempersoalkan kebenaran dalil di atas. Cuma berhati-hatilah mengimplementasikan dalam kehidupan sosial kita. Bisa jadi kita tidak bijaksana menggunakan dalil tersebut. Dan saya hanya akan menyorot aspek sosialnya saja.
Saya pernah dengar dari seorang guru agama kalau udara yang kita hirup setiap hari adalah rejeki bagi kita, tanah yang kita injakpun adalah rejeki yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Jadi begitu kita lahir dan bernafas maka jelas kita langsung mendapat rejeki yang namanya udara. Kemudian dibaringkan di atas tempat tidur bayi, maka tempat itu dan tanah di bawahnya adalah rejeki bagi sibayi. Ketika kehausan dia mendapat ASI yang bergizi tinggi sebagai rejeki juga. Dan seterusnya setelah bayi bisa melihat dia akan memandang figur seorang ayah. Rejeki juga kan? Pendek kata, begitu lahir sudah pasti mendapat rejeki tak ternilai dari Tuhan Yang Maha Pemurah.
Sikap beberapa orang yang bahkan mungkin sikap beberapa pejabat yang terlanjur banyak anak sebagaimana judul artikel sepertinya sangat bijaksana. Tapi coba kita lihat kenyataannya di luar sana, begitu banyak orang yang tidak mampu membayar biaya rumah sakit bersalin, tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi bagi bayi yang dilahirkannya. Kita sering menemukan kasus gizi buruk karena orang tuanya tidak mampu memberi makan yang layak atau setidaknya mereka tidak mampu ilmunya dalam merawat anak.
Ketika tidak mampu membayar rumah sakit mungkin keluarga tersebut bisa mengurus surat keterangan miskin. Maka keluarlah ibu dan bayinya dari rumah sakit dengan gratis. Itu rejeki bukan? Untuk makan sehari-hari mungkin mendapat bantuan dari BLT. Itu juga rejeki. Kalau masih kurang juga dan jatuh ke kurang gizi maka puskesmas akan turun tangan menyantuninya dengan PMT pemulihan senilai 4 ribu rupiah perhari sampai sembuh dari gizi buruknya. Lagi-lagi dia talah mendapat rejeki.
Kata saya: Jadi kita tidak takut tidak kebagian rejeki Allah. Rejeki Allah tak terhingga. Tapi kita takut kalau rejeki kita masih harus melalui surat keterangan miskin. Kita takut kalau rejeki kita masih lewat meminta-minta kepada para dermawan. Kita takut tidak mampu menafkahi mereka dari hasil kerja kita sehingga menjadi beban negara dan masyarakat. Kita tidak takut tidak makan tapi kita takut tidak mampu memberi pendidikan yang baik bagi anak-anak kita.
Mungkin contoh-contoh tadi terlalu ekstrim. Memang tidak selalu setragis itu. Tapi tidak bisa kita pungkiri bahwa mengasuh anak butuh biaya, ilmu dan waktu yang banyak. Biaya sekolah sangat mahal sedang persaingan kehidupan makin keras. Pertumbuhan lowongan kerja tidak sebanding dengan pertambahan anak manusia yang membutuhkannya. Jadi perencanaan keluarga masih tetap relevan sehingga kita tidak meninggalkan generasi yang lemah. Bagaimana pendapat Anda?
Komentar: Sebuah kalimat yang sangat bijak, tidak salah dan sebagai ummat beragama saya percaya itu benar. Kalimat ini masih sering saya dengar dan bahkan dari pejabat yang berpengaruh bagi orang banyak. Saya tidak hendak mempersoalkan kebenaran dalil di atas. Cuma berhati-hatilah mengimplementasikan dalam kehidupan sosial kita. Bisa jadi kita tidak bijaksana menggunakan dalil tersebut. Dan saya hanya akan menyorot aspek sosialnya saja.
Saya pernah dengar dari seorang guru agama kalau udara yang kita hirup setiap hari adalah rejeki bagi kita, tanah yang kita injakpun adalah rejeki yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Jadi begitu kita lahir dan bernafas maka jelas kita langsung mendapat rejeki yang namanya udara. Kemudian dibaringkan di atas tempat tidur bayi, maka tempat itu dan tanah di bawahnya adalah rejeki bagi sibayi. Ketika kehausan dia mendapat ASI yang bergizi tinggi sebagai rejeki juga. Dan seterusnya setelah bayi bisa melihat dia akan memandang figur seorang ayah. Rejeki juga kan? Pendek kata, begitu lahir sudah pasti mendapat rejeki tak ternilai dari Tuhan Yang Maha Pemurah.
Sikap beberapa orang yang bahkan mungkin sikap beberapa pejabat yang terlanjur banyak anak sebagaimana judul artikel sepertinya sangat bijaksana. Tapi coba kita lihat kenyataannya di luar sana, begitu banyak orang yang tidak mampu membayar biaya rumah sakit bersalin, tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi bagi bayi yang dilahirkannya. Kita sering menemukan kasus gizi buruk karena orang tuanya tidak mampu memberi makan yang layak atau setidaknya mereka tidak mampu ilmunya dalam merawat anak.
Ketika tidak mampu membayar rumah sakit mungkin keluarga tersebut bisa mengurus surat keterangan miskin. Maka keluarlah ibu dan bayinya dari rumah sakit dengan gratis. Itu rejeki bukan? Untuk makan sehari-hari mungkin mendapat bantuan dari BLT. Itu juga rejeki. Kalau masih kurang juga dan jatuh ke kurang gizi maka puskesmas akan turun tangan menyantuninya dengan PMT pemulihan senilai 4 ribu rupiah perhari sampai sembuh dari gizi buruknya. Lagi-lagi dia talah mendapat rejeki.
Kata saya: Jadi kita tidak takut tidak kebagian rejeki Allah. Rejeki Allah tak terhingga. Tapi kita takut kalau rejeki kita masih harus melalui surat keterangan miskin. Kita takut kalau rejeki kita masih lewat meminta-minta kepada para dermawan. Kita takut tidak mampu menafkahi mereka dari hasil kerja kita sehingga menjadi beban negara dan masyarakat. Kita tidak takut tidak makan tapi kita takut tidak mampu memberi pendidikan yang baik bagi anak-anak kita.
Mungkin contoh-contoh tadi terlalu ekstrim. Memang tidak selalu setragis itu. Tapi tidak bisa kita pungkiri bahwa mengasuh anak butuh biaya, ilmu dan waktu yang banyak. Biaya sekolah sangat mahal sedang persaingan kehidupan makin keras. Pertumbuhan lowongan kerja tidak sebanding dengan pertambahan anak manusia yang membutuhkannya. Jadi perencanaan keluarga masih tetap relevan sehingga kita tidak meninggalkan generasi yang lemah. Bagaimana pendapat Anda?
Selasa, 16 Desember 2008
Bisakah Program ARU (anak remaja dan usila) Lebih Menarik?
Pada artikel Rakor kesehatan Lansia Prop Jatim yang lalu telah saya singgung ada kesan bahwa program kesehatan lansia dan program ARU (anak remaja dan usia lanjut) lainnya ternyata kurang mendapat perhatian dari sebagian pemangku jabatan. Menurut sebagian kasi ARU yang hadir, program ARU sulit menerima kucuran dana sehingga program berjalan tanpa greget yang semestinya. Dan pemberdayaan masyarakat dalam hal ini remaja dan usia lanjut tidak maksimal.
Minggu, 14 Desember 2008
Sekilas Puskesmas Santun Lansia
Puskesmas santun lansia adalah puskesmas yang melaksanakan pelayanan kesehatan kepada pra lansia dan lansia yang meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang lebih menekankan unsur proaktif, kemudahan proses pelayanan, santun, sesuai standar pelayanan dan kerja sama dengan unsur lintas sektor. Dengan demikian maka program lansia tidak terbatas pada pelayanan kesehatan di klinik saja, tetapi juga pelayanan kesehatan luar gedung dan pemberdayaan masyarakat.
Bentuk kesantunan pada lansia misalnya:
1. Melayani lansia dengan senyum, ramah, sabar dan menghargai sebagai orang tua
2. Pelayanan rawat jalan gratis bagi lansia (usia 60 tahun ke atas)
3. Proaktif dan responsif terhadap permasalahan kesehatan lansia
4. Kemudahan akses layanan bagi lansia baik prosedur layanan maupun fasilitasnya.
Jasa layanan yang bisa diberikan:
1. Pelayanan kesehatan One stop service di ruang tersendiri
2. Konseling lansia
3. Posyandu lansia
4. Pembinaan melalui karang werda
5. Pembinaan melalui forum karang werda kecamatan
6. Pelayanan melalui panti wreda
7. Kunjungan rumah
8. Membuat event tertentu seperti talk show, lomba senam lansia, jalan sehat dll.
Pelayanan one stop service adalah pelayanan kepada lansia mulai dari pendaftaran sampai mendapat obat dilaksanakan satu paket di satu ruang. Dengan begitu lansia tidak perlu berpindah tempat dan antre lagi untuk pelayanan lainnya dalam puskesmas.
1. Pendaftaran
2. Pemeriksaan klinis
3. pemeriksaan laboratorium bila perlu
4. Konseling
5. Pemberian obat
Bila tidak ada ruang khusus maka lansia dilayani di poli umum tetapi pelayanannya didahulukan.
Kemudahan akses:
1. Ada alur pelayanan lansia yang jelas dan mudah
2. Mendahulukan lansia dari pasien umum
3. Trap atau tangga tidak terlalu curam
4. Disediakan jamban / WC duduk sehingga lansia tidak perlu jongkok
5. Pegangan rambat pada tangga dan WC
Sasaran program:
1. Lansia (umur 60 tahun keatas)
2. Pralansia ( umur 45 – 60 tahun)
3. Keluarga lansia, masyarakat, serta lembaga masyarakat dan pemerintah untuk lingkungan kondusif bagi pemberdayaan lansia
Dasar hukum:
1. Undang-Undang RI No 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Lansia
2. Undang-undang RI No 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Usia Lanjut
3. Peraturan Pemerintah RI No 43 tahun 2004 tentang Kesejahteraan Usia Lanjut
4. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur No 5 Tahun 2007 tentang Kesejahteraan Lansia
5. Peraturan Gubernur Propinsi Jawa Timur No 6 Tahun2008 mengenai Kesejahteraan Lanjut Usia.
6. Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur No 65 Tahun 1996 tentang Pedoman Pembentukan Karang werda di propinsi daerah Tingkat I Jawa Timur
Related post:
1. Rakor Kesehatan Lansia Jawa Timur
2. Safari Santun Lansia ke Desa Ranupani
3. Lomba Senam Diabetes untuk Lansia
Bentuk kesantunan pada lansia misalnya:
1. Melayani lansia dengan senyum, ramah, sabar dan menghargai sebagai orang tua
2. Pelayanan rawat jalan gratis bagi lansia (usia 60 tahun ke atas)
3. Proaktif dan responsif terhadap permasalahan kesehatan lansia
4. Kemudahan akses layanan bagi lansia baik prosedur layanan maupun fasilitasnya.
Jasa layanan yang bisa diberikan:
1. Pelayanan kesehatan One stop service di ruang tersendiri
2. Konseling lansia
3. Posyandu lansia
4. Pembinaan melalui karang werda
5. Pembinaan melalui forum karang werda kecamatan
6. Pelayanan melalui panti wreda
7. Kunjungan rumah
8. Membuat event tertentu seperti talk show, lomba senam lansia, jalan sehat dll.
Pelayanan one stop service adalah pelayanan kepada lansia mulai dari pendaftaran sampai mendapat obat dilaksanakan satu paket di satu ruang. Dengan begitu lansia tidak perlu berpindah tempat dan antre lagi untuk pelayanan lainnya dalam puskesmas.
1. Pendaftaran
2. Pemeriksaan klinis
3. pemeriksaan laboratorium bila perlu
4. Konseling
5. Pemberian obat
Bila tidak ada ruang khusus maka lansia dilayani di poli umum tetapi pelayanannya didahulukan.
Kemudahan akses:
1. Ada alur pelayanan lansia yang jelas dan mudah
2. Mendahulukan lansia dari pasien umum
3. Trap atau tangga tidak terlalu curam
4. Disediakan jamban / WC duduk sehingga lansia tidak perlu jongkok
5. Pegangan rambat pada tangga dan WC
Sasaran program:
1. Lansia (umur 60 tahun keatas)
2. Pralansia ( umur 45 – 60 tahun)
3. Keluarga lansia, masyarakat, serta lembaga masyarakat dan pemerintah untuk lingkungan kondusif bagi pemberdayaan lansia
Dasar hukum:
1. Undang-Undang RI No 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Lansia
2. Undang-undang RI No 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Usia Lanjut
3. Peraturan Pemerintah RI No 43 tahun 2004 tentang Kesejahteraan Usia Lanjut
4. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur No 5 Tahun 2007 tentang Kesejahteraan Lansia
5. Peraturan Gubernur Propinsi Jawa Timur No 6 Tahun2008 mengenai Kesejahteraan Lanjut Usia.
6. Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur No 65 Tahun 1996 tentang Pedoman Pembentukan Karang werda di propinsi daerah Tingkat I Jawa Timur
Related post:
1. Rakor Kesehatan Lansia Jawa Timur
2. Safari Santun Lansia ke Desa Ranupani
3. Lomba Senam Diabetes untuk Lansia
Jumat, 12 Desember 2008
Rakor Kesehatan Lansia Jawa Timur
Baru saja saya mengikuti pertemuan koordinasi program kesehatan usia lanjut / usila / lansia Propinsi Jawa Timur di Hotel Utami Surabaya. Acara yang diselenggarakan pada 10-11 Desember 2008 tersebut sebenarnya untuk para kasi ARU kabupaten dan kota di Jawa Timur. Saya sendiri diundang dalam kapasitas sebagai Kepala Puskesmas Senduro Kab. Lumajang, puskesmas santun lansia, untuk menjadi nara sumber dan sekaligus peserta aktif.
Hadir dalam acara tersebut para pejabat dari Dinas Pemuda dan Olahraga, Dinas Sosial dan Biro Kesra Pemprop Jatim serta dari Yayasan Gerontologi Propinsi Jawa Timur Soerjadi Tjokrosoewito sebagai nara sumber. Pertemuan yang dibuka oleh Kasubdin Kesga dan Gizi dr Hendra Wijaya tersebut membicarakan beberapa hal seputar program untuk lansia terutama berkaitan dengan pengembangan puskesmas santun lansia. Ada beberapa hal yang saya tangkap dari pertemuan koordinasi tersebut, antara lain:
1. Program kesehatan lansia "belum dianggap penting" oleh sebagian pengambil keputusan bidang kesehatan di daerah
2. Dukungan sektor non kesehatan masih belum maksimal
3. Implementasi Perda no 5 tahun 2007 Propinsi jawa Timur tentang Kesejahteraan Lansia juga belum maksiamal.
Seperti telah disinggung di muka, saya hadir untuk menyampaikan presentasi mengenai pelaksanaan program santun lansia di Puskesmas Senduro Kabupaten Lumajang. Saya bersama dokter Puskesmas Bareng Kabupaten Jombang kebagian presentasi pada hari pertama jam 16.25, waktu yang sangat krusial untuk suatu presentasi. Itu adalah waktu dimana peserta biasanya sudah jenuh dan maunya segera selesai, ishoma, mandi dan sholat maghrib lalu ngobrol dengan teman dari berbagai daerah. Begitulah kira-kira. Kami berdua merasa kurang optimal karena waktu yang menurut jadwal seharusnya 2 jam dipersingkat jadi 50 menit saja. Kalimat demi kalimat saya persingkat, dan tidak semua slide saya paparkan. Moderator tampaknya juga sudah tidak sempat lagi membuka sesi tanya jawab. Namun begitu mudah-mudahan misi yang kami bawa cukup membawa hasil.
Paparan Puskesmas Bareng lebih menekankan pada pelayanan lansia di dalam gedung, sedangkan saya lebih pada pelayanan luar gedung dan pemberdayaan masyarakatnya. Itu adalah semacam pembagian tugas yang kebetulan amat pas. Tetapi di puskesmas kami melaksanakan keduanya, baik pelayanan dalam gedung maupun luar gedung dan pemberdayaannya.
Program santun lansia, sebagaimana program kesehatan komunitas lainnya memang harus dilaksanakan melalui dua dimensi, yaitu:
1. Pelayanan kesehatan
2. Pemberdayaan masyarakat
Pelayanan kesehatan dalam gedung ditekankan pada kemudahan prosedur layanan, pelayanan berkualitas oleh petugas yang kompeten, responsif terhadap kebutuhan dan kondisi lansia serta santun dan mendahulukannya dari pasien umum. Untuk itu maka puskesmas santun lansia biasanya menyediakan loket tersendiri bagi lansia dan bahkan ruang layanan tersendiri bila memungkinkan. Di Puskesmas Senduro sendiri ada pelayanan yang disebut one stop service. Itu artinya pasien lansia dilayani dalam satu paket layanan dalam satu ruangan tanpa harus pindah ke ruang lain mulai dari pendaftaran, pemeriksaan hingga mendapat obat. Untuk pelayanan model ini, Puskesmas Bareng ternyata sudah lebih awal melaksanakannya dengan baik sekali.
Permasalahan yang dihadapi Puskesmas Senduro adalah sarana gedung yang ada dulunya tidak dirancang santun lansia. Meski demikian program tetap kami jalankan sesuai potensi yang ada dulu, dengan beberapa pembenahan. Mudah-mudahan untuk selanjutnya kami bisa memiliki gedung tersendiri sebagai Klinik Lansia Puskesmas Senduro di tempat yang dulunya adalah bekas gedung puskesmas lama yang sudah rusak.
Dimensi kedua adalah pemberdayaan masyarakat tidak kalah pentingnya. Karena permasalahan lansia sangat komplek dan saling berkaitan. Permasalahan sudah jelas, seperti penurunan kualitas dan kebugaran fisik dan psikis. Berbagai penyakit degeneratif mulai menghantui mereka dan ini membutuhkan perhatian dan dana yang tidak sedikit. Secara sosial sebagian lansia sudah tidak mampu mandiri sebagai mana masih muda dulu. Kondisi ini diperparah oleh stigma negatif tentang lansia oleh sebagian masyarakat. Karenya perlu suatu gerakan pemberdayaan tidak hanya bagi para lansia itu sendiri, tetapi juga bagi keluarga dan masyarakat pada umumnya.
Lho, apa hubungannya segala tetek bengek tersebut dengan tugas kita sebagai orang kesehatan? Tentu saja ada dan malah sangat strategis. Lansia seperti halnya manusia lainnya juga perlu dipandang secara holistik, tidak saja dari segi fisik bilogis, tetapi juga jiwa, sosial dan bahkan spiritual. Itu semua sangat berkaitan bukan. Tetapi saya tidak hendak mengatakan itu semua menjadi tugas orang kesehatan. Kita hanya perlu untuk mengadvokasikan kepentingan lansia kepada sektor lainnya untuk bersama-sama memperhatikan mereka. Mungkin Anda berpikir bukankah dinas lintas sektor sudah punya tupoksi masing-masing. Memang benar, tetapi pada umumnya tetap saja harus ada pihak yang memulai maju ke depan baru lainnya mengikuti dari belakang. Ya, tidak? Lagi pula bukankah orang kesehatan yang paling sering mendapat keluhan dan bersinggungan dengan permasalahan para lansia. Jadi sudah seharusnya orang kesehatan lebih peka terhadap mereka.
Untuk mengoptimalkan dukungan litas sektor, partisipasi para lansia dan masyarakat pada umumnya maka perlu wadah, dan wadahnya adalah Karang Werda. Sebagai mana disebutkan dalam Perda No 5 tahun 2007, Karang Werda adalah wadah bagi komunitas lansia di tingkat desa. Kegiatan lansia meliputi berbagai bidang, antara lain: organisasi, kesehatan, olaraga, kerohanian, kesejahteraan, dan kesenian. Jadi jelas berbagai sektor bisa bertemu di Karang Werda dlam rangka pembinaan dan pengembangan. Karena itulah maka Puskesmas Senduro bersama Muspika, Sektor Pendidikan, KUA, PKK dan tokoh masyarakat telah melaksanakan fasilitasi pembentukan Karang Werda. kalau dulu hanya ada 2 Karang Werda yang aktif, maka sekarang sudah semua desa atau sebanya 12 Karang Werda dengan SK Kepala Desa masing-masing.
Lalu bagaimana kelembagaan di tingkat kecamatan? Sebelum melangkah pada fasilitasi, kami telah terlebih dahulu membentuk tim pembina karang werda dengan SK Camat. Tim ini diketuai oleh Camat dan terdiri dari berbagai sektor terkait. Sementara itu untuk komunitas lansia itu sendiri para wakil karang werda desa kemudian membetuk suatu forum yang disebut Forum Karang Werda Kecamatan Senduro yang saat ini diketuai Ibu Kunsiati. Tim pembina dan forum inilah yang bertanggung jawab memfasilitasi dan membina karang werda desa.
Lebih jauh Anda saya ajak kebelakang. Sebelum semua tersebut, sebenarnya Puskesmas Senduro sudah melaksanakan santun lansia sejak awal 2007 ketika itu saya masih sebagai Kepala Puskesmas Gucialit. Karang Werda sudah terbentuk di 3 desa tetapi sampai saya masuk Senduro Januari 2008 yang aktif tinggal satu saja, yaitu Desa Senduro. Meskipun begitu oprasional Karang Werda Desa Senduro sangat aktif bahkan sangat bersemangat. Organisasinya jalan, administrasi rapi, dan kegiatannya sangat semarak. Sampai-sampai kami yang muda-muda merasa kalah giat dengan mereka. Pertemuan pengurus dan arisan rutin diadakan tiap tanggal 15. Senam lansia aktif, senam diabetes untuk lansia OK, bahkan bisa juara III kabupaten. Kesenian juga ada, yaitu karawitan, keroncong dan paduan suara lansia. Bidang ekonomi ada tabungan lansia, simpan pinjam lansia, usaha keripik pisang sampai usaha membuat dan menjual souvenir. Kegiatan lainnya antara lain:
- Pasamuan dan pengajian rutin
- Talk show kesehatan
- Jalan sehat
- Latihan keterampilan
- Produksi jamu
- Usaha pupuk bokasih
- Bazaar lansia
- Bakti sosial bencana alam
- Pengobatan massal
- Rekreasi
- Peringatan Hari Lansia Nasional rutin tiap tahun
Di samping itu ada posyandu lansia yang waktu itu sudah aktif. Pantaslah kalau Karang Werda Desa Senduro berhasil Juara II Lomba Karang Werda tingkat propinsi pada tahun 2007 lalu.
Tapi bila kembali ke puskesmas ternyata pelayanan lansia tidak ubahnya dengan puskesmas pada umumnya. Padahal di halaman puskesmas terpampang name board "puskesmas santun lansia" Maka dari itu saya bawa permasalahan ini ke loka karya mini. Saya tawarkan kepada seluruh staf apakah name board-nya diturunkan atau tetap seperti itu asalkan pelayanannya ditata ulang untuk memberi layanan santun lasia secara maksimal. Ternyata yang dipilih adalah tawaran kedua dan selanjutnya membuat rencana tindak lanjutnya.
Sekali lagi saya tegaskan, bahwa program kesehatan komunitas selalu berkaitan dengan pemberdayaan. Dan saya tidak mau orang kesehatan kerja sendirian, jadi program yang telah digagas puskesmas harus menjadi program bersama segenap dinas lintas sektor. Pendek kata santun lansia harus menjadi program kecamatan, bukan program puskesmas semata. Maka mulailah kami membentuk dan menjalankan jejaring advokasi dan jejaring bina suasana untuk program "Kecamatan Santun Lansia" Dalam program ini ada community organization dan community development melalui karang werda. Sektor non kesehatan membina lansia melalui karang werda sesuai dengan bidanyanya masing-masing. PLKB misalnya, mereka membina keluarga lansia melalui lembaga BKL (bina keluaraga lansia)di tiap dusun sehingga tercipta situasi kondusif pengembangan lansia di masyarakat. Petugas kesehatan tentunya bisa menggunakan karang werda sebagai media pembinaan bidang kesehatan. Dan karang werda ini juga bisa mendorong kesinambungan penyelenggaraan posyandu lansia, yang ditargetkan terbentuk di setiap dusun satu posyandu atau berjumlah 52 posyandu lansia pada semester I tahun 2009.
Ada satu hal lagi yang harus diperhatikan dalam upaya pemberdayaan lansia. Jangan memandang lansia hanya dari sudut masalah saja tapi pandanglah juga bahwa pada mereka ada potensi. Ini akan berpengaruh pada pola pendekatan kita kepada mereka. Kita cukup memfasilitasi saja dan dengan bantuan seperlunya saja. Sekali lagi mereka juga masih punya kapabilitas yang mesti diberi kesempatan. Ingat 87 dari 150 orang terkaya di Indonesia adalah lansia. Ada pengalaman menarik sewaktu saya memfasilitasi Karang Werda Desa Argosari, sebuah desa yang tergolong agak miskin. Ada seorang lansia yang sangat sepuh malah bingung membelanjakan uangnya, "Saya banyak uang sampai bingung untuk beli apa", katanya. Orang ini hanya perlu difasilitasi saja agar potensinya bisa lebih bermanfaat untuk dirinya dan juga untuk masyarakat di sekitarnya.
Kembali ke pertemuan koordinasi di hotel Utami Surabaya, telah disepakati beberapa hal untuk pengembangan program santun lansia selajutnya. Mudah-mudahan program ini lebih mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait karena bagaimanapun juga jumlah komunitas lansia akan terus bertambah sejalan nertambahnya umur harapan hidup. Dan jangan lupa, membangun sistem pelayanan dan pemberdayaan lansia berarti membangun masa depan kita sendiri. Bukankah kita semua berharap jadi lansia? Kecuali kalau Anda ingin mati muda. Sorry, ini guyon.... he-he-he.
Related post:
1. Sekilas Puskesmas Santun Lansia
2. Safari Santun Lansia ke Desa Ranupani
3. Lomba Senam Diabetes untuk Lansia
Hadir dalam acara tersebut para pejabat dari Dinas Pemuda dan Olahraga, Dinas Sosial dan Biro Kesra Pemprop Jatim serta dari Yayasan Gerontologi Propinsi Jawa Timur Soerjadi Tjokrosoewito sebagai nara sumber. Pertemuan yang dibuka oleh Kasubdin Kesga dan Gizi dr Hendra Wijaya tersebut membicarakan beberapa hal seputar program untuk lansia terutama berkaitan dengan pengembangan puskesmas santun lansia. Ada beberapa hal yang saya tangkap dari pertemuan koordinasi tersebut, antara lain:
1. Program kesehatan lansia "belum dianggap penting" oleh sebagian pengambil keputusan bidang kesehatan di daerah
2. Dukungan sektor non kesehatan masih belum maksimal
3. Implementasi Perda no 5 tahun 2007 Propinsi jawa Timur tentang Kesejahteraan Lansia juga belum maksiamal.
Seperti telah disinggung di muka, saya hadir untuk menyampaikan presentasi mengenai pelaksanaan program santun lansia di Puskesmas Senduro Kabupaten Lumajang. Saya bersama dokter Puskesmas Bareng Kabupaten Jombang kebagian presentasi pada hari pertama jam 16.25, waktu yang sangat krusial untuk suatu presentasi. Itu adalah waktu dimana peserta biasanya sudah jenuh dan maunya segera selesai, ishoma, mandi dan sholat maghrib lalu ngobrol dengan teman dari berbagai daerah. Begitulah kira-kira. Kami berdua merasa kurang optimal karena waktu yang menurut jadwal seharusnya 2 jam dipersingkat jadi 50 menit saja. Kalimat demi kalimat saya persingkat, dan tidak semua slide saya paparkan. Moderator tampaknya juga sudah tidak sempat lagi membuka sesi tanya jawab. Namun begitu mudah-mudahan misi yang kami bawa cukup membawa hasil.
Paparan Puskesmas Bareng lebih menekankan pada pelayanan lansia di dalam gedung, sedangkan saya lebih pada pelayanan luar gedung dan pemberdayaan masyarakatnya. Itu adalah semacam pembagian tugas yang kebetulan amat pas. Tetapi di puskesmas kami melaksanakan keduanya, baik pelayanan dalam gedung maupun luar gedung dan pemberdayaannya.
Program santun lansia, sebagaimana program kesehatan komunitas lainnya memang harus dilaksanakan melalui dua dimensi, yaitu:
1. Pelayanan kesehatan
2. Pemberdayaan masyarakat
Pelayanan kesehatan dalam gedung ditekankan pada kemudahan prosedur layanan, pelayanan berkualitas oleh petugas yang kompeten, responsif terhadap kebutuhan dan kondisi lansia serta santun dan mendahulukannya dari pasien umum. Untuk itu maka puskesmas santun lansia biasanya menyediakan loket tersendiri bagi lansia dan bahkan ruang layanan tersendiri bila memungkinkan. Di Puskesmas Senduro sendiri ada pelayanan yang disebut one stop service. Itu artinya pasien lansia dilayani dalam satu paket layanan dalam satu ruangan tanpa harus pindah ke ruang lain mulai dari pendaftaran, pemeriksaan hingga mendapat obat. Untuk pelayanan model ini, Puskesmas Bareng ternyata sudah lebih awal melaksanakannya dengan baik sekali.
Permasalahan yang dihadapi Puskesmas Senduro adalah sarana gedung yang ada dulunya tidak dirancang santun lansia. Meski demikian program tetap kami jalankan sesuai potensi yang ada dulu, dengan beberapa pembenahan. Mudah-mudahan untuk selanjutnya kami bisa memiliki gedung tersendiri sebagai Klinik Lansia Puskesmas Senduro di tempat yang dulunya adalah bekas gedung puskesmas lama yang sudah rusak.
Dimensi kedua adalah pemberdayaan masyarakat tidak kalah pentingnya. Karena permasalahan lansia sangat komplek dan saling berkaitan. Permasalahan sudah jelas, seperti penurunan kualitas dan kebugaran fisik dan psikis. Berbagai penyakit degeneratif mulai menghantui mereka dan ini membutuhkan perhatian dan dana yang tidak sedikit. Secara sosial sebagian lansia sudah tidak mampu mandiri sebagai mana masih muda dulu. Kondisi ini diperparah oleh stigma negatif tentang lansia oleh sebagian masyarakat. Karenya perlu suatu gerakan pemberdayaan tidak hanya bagi para lansia itu sendiri, tetapi juga bagi keluarga dan masyarakat pada umumnya.
Lho, apa hubungannya segala tetek bengek tersebut dengan tugas kita sebagai orang kesehatan? Tentu saja ada dan malah sangat strategis. Lansia seperti halnya manusia lainnya juga perlu dipandang secara holistik, tidak saja dari segi fisik bilogis, tetapi juga jiwa, sosial dan bahkan spiritual. Itu semua sangat berkaitan bukan. Tetapi saya tidak hendak mengatakan itu semua menjadi tugas orang kesehatan. Kita hanya perlu untuk mengadvokasikan kepentingan lansia kepada sektor lainnya untuk bersama-sama memperhatikan mereka. Mungkin Anda berpikir bukankah dinas lintas sektor sudah punya tupoksi masing-masing. Memang benar, tetapi pada umumnya tetap saja harus ada pihak yang memulai maju ke depan baru lainnya mengikuti dari belakang. Ya, tidak? Lagi pula bukankah orang kesehatan yang paling sering mendapat keluhan dan bersinggungan dengan permasalahan para lansia. Jadi sudah seharusnya orang kesehatan lebih peka terhadap mereka.
Untuk mengoptimalkan dukungan litas sektor, partisipasi para lansia dan masyarakat pada umumnya maka perlu wadah, dan wadahnya adalah Karang Werda. Sebagai mana disebutkan dalam Perda No 5 tahun 2007, Karang Werda adalah wadah bagi komunitas lansia di tingkat desa. Kegiatan lansia meliputi berbagai bidang, antara lain: organisasi, kesehatan, olaraga, kerohanian, kesejahteraan, dan kesenian. Jadi jelas berbagai sektor bisa bertemu di Karang Werda dlam rangka pembinaan dan pengembangan. Karena itulah maka Puskesmas Senduro bersama Muspika, Sektor Pendidikan, KUA, PKK dan tokoh masyarakat telah melaksanakan fasilitasi pembentukan Karang Werda. kalau dulu hanya ada 2 Karang Werda yang aktif, maka sekarang sudah semua desa atau sebanya 12 Karang Werda dengan SK Kepala Desa masing-masing.
Lalu bagaimana kelembagaan di tingkat kecamatan? Sebelum melangkah pada fasilitasi, kami telah terlebih dahulu membentuk tim pembina karang werda dengan SK Camat. Tim ini diketuai oleh Camat dan terdiri dari berbagai sektor terkait. Sementara itu untuk komunitas lansia itu sendiri para wakil karang werda desa kemudian membetuk suatu forum yang disebut Forum Karang Werda Kecamatan Senduro yang saat ini diketuai Ibu Kunsiati. Tim pembina dan forum inilah yang bertanggung jawab memfasilitasi dan membina karang werda desa.
Lebih jauh Anda saya ajak kebelakang. Sebelum semua tersebut, sebenarnya Puskesmas Senduro sudah melaksanakan santun lansia sejak awal 2007 ketika itu saya masih sebagai Kepala Puskesmas Gucialit. Karang Werda sudah terbentuk di 3 desa tetapi sampai saya masuk Senduro Januari 2008 yang aktif tinggal satu saja, yaitu Desa Senduro. Meskipun begitu oprasional Karang Werda Desa Senduro sangat aktif bahkan sangat bersemangat. Organisasinya jalan, administrasi rapi, dan kegiatannya sangat semarak. Sampai-sampai kami yang muda-muda merasa kalah giat dengan mereka. Pertemuan pengurus dan arisan rutin diadakan tiap tanggal 15. Senam lansia aktif, senam diabetes untuk lansia OK, bahkan bisa juara III kabupaten. Kesenian juga ada, yaitu karawitan, keroncong dan paduan suara lansia. Bidang ekonomi ada tabungan lansia, simpan pinjam lansia, usaha keripik pisang sampai usaha membuat dan menjual souvenir. Kegiatan lainnya antara lain:
- Pasamuan dan pengajian rutin
- Talk show kesehatan
- Jalan sehat
- Latihan keterampilan
- Produksi jamu
- Usaha pupuk bokasih
- Bazaar lansia
- Bakti sosial bencana alam
- Pengobatan massal
- Rekreasi
- Peringatan Hari Lansia Nasional rutin tiap tahun
Di samping itu ada posyandu lansia yang waktu itu sudah aktif. Pantaslah kalau Karang Werda Desa Senduro berhasil Juara II Lomba Karang Werda tingkat propinsi pada tahun 2007 lalu.
Tapi bila kembali ke puskesmas ternyata pelayanan lansia tidak ubahnya dengan puskesmas pada umumnya. Padahal di halaman puskesmas terpampang name board "puskesmas santun lansia" Maka dari itu saya bawa permasalahan ini ke loka karya mini. Saya tawarkan kepada seluruh staf apakah name board-nya diturunkan atau tetap seperti itu asalkan pelayanannya ditata ulang untuk memberi layanan santun lasia secara maksimal. Ternyata yang dipilih adalah tawaran kedua dan selanjutnya membuat rencana tindak lanjutnya.
Sekali lagi saya tegaskan, bahwa program kesehatan komunitas selalu berkaitan dengan pemberdayaan. Dan saya tidak mau orang kesehatan kerja sendirian, jadi program yang telah digagas puskesmas harus menjadi program bersama segenap dinas lintas sektor. Pendek kata santun lansia harus menjadi program kecamatan, bukan program puskesmas semata. Maka mulailah kami membentuk dan menjalankan jejaring advokasi dan jejaring bina suasana untuk program "Kecamatan Santun Lansia" Dalam program ini ada community organization dan community development melalui karang werda. Sektor non kesehatan membina lansia melalui karang werda sesuai dengan bidanyanya masing-masing. PLKB misalnya, mereka membina keluarga lansia melalui lembaga BKL (bina keluaraga lansia)di tiap dusun sehingga tercipta situasi kondusif pengembangan lansia di masyarakat. Petugas kesehatan tentunya bisa menggunakan karang werda sebagai media pembinaan bidang kesehatan. Dan karang werda ini juga bisa mendorong kesinambungan penyelenggaraan posyandu lansia, yang ditargetkan terbentuk di setiap dusun satu posyandu atau berjumlah 52 posyandu lansia pada semester I tahun 2009.
Ada satu hal lagi yang harus diperhatikan dalam upaya pemberdayaan lansia. Jangan memandang lansia hanya dari sudut masalah saja tapi pandanglah juga bahwa pada mereka ada potensi. Ini akan berpengaruh pada pola pendekatan kita kepada mereka. Kita cukup memfasilitasi saja dan dengan bantuan seperlunya saja. Sekali lagi mereka juga masih punya kapabilitas yang mesti diberi kesempatan. Ingat 87 dari 150 orang terkaya di Indonesia adalah lansia. Ada pengalaman menarik sewaktu saya memfasilitasi Karang Werda Desa Argosari, sebuah desa yang tergolong agak miskin. Ada seorang lansia yang sangat sepuh malah bingung membelanjakan uangnya, "Saya banyak uang sampai bingung untuk beli apa", katanya. Orang ini hanya perlu difasilitasi saja agar potensinya bisa lebih bermanfaat untuk dirinya dan juga untuk masyarakat di sekitarnya.
Kembali ke pertemuan koordinasi di hotel Utami Surabaya, telah disepakati beberapa hal untuk pengembangan program santun lansia selajutnya. Mudah-mudahan program ini lebih mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait karena bagaimanapun juga jumlah komunitas lansia akan terus bertambah sejalan nertambahnya umur harapan hidup. Dan jangan lupa, membangun sistem pelayanan dan pemberdayaan lansia berarti membangun masa depan kita sendiri. Bukankah kita semua berharap jadi lansia? Kecuali kalau Anda ingin mati muda. Sorry, ini guyon.... he-he-he.
Related post:
1. Sekilas Puskesmas Santun Lansia
2. Safari Santun Lansia ke Desa Ranupani
3. Lomba Senam Diabetes untuk Lansia
Label:
karang werda,
pemberdayaan,
puskesmas,
santun lansia,
usila
Senin, 08 Desember 2008
Lomba Senam Diabetes untuk Lansia
Selasa 2 Desember 2008 Forum Karang werda Kecamatan Senduro mengikuti lomba senam diabetes bagi lansia se Kabupaten Lumajang. Tim Lansia Senduro disponsori Kantor Kecamatan dan Puskesmas Santun Lansia Senduro.
Lomba senam diabetes untuk lansia diselenggarakan di GOR Wira Bhakti Lumajang dan diadakan oleh Balai Kesehatan Olah Raga Lumajang dalam rangka Hari Kesehatan Nasional (HKN) 2008. Ikut serta dalam lomba ini perwakilan komunitas lansia dari seluruh kecamatan di Kabupaten Lumajang. Untuk penilaian, lomba dilaksanakan menjadi delapan putaran yang masing-masing berdurasi tidak kurang dari 30 menit.
Forum Karang werda kecamatan Senduro mengirim dua tim yang masing-masing terdiri dari lima orang lansia plus dua orang cadangan dan dua official tim. Saya sebagai kepala puskesmas yang tentunya paling bertanggung jawab atas kesehatan peserta merasa was-was juga. Itu karena anggota yang dikirim rata-rata sudah udzur (baca sepuh sekali) yang tidak check up kesehatan secara lengkap terlebih dahulu. Jangan-jangan nanti terjadi apa-apa. Tetapi Alhamdulillah sampai akhir acara ternyata tidak terjadi apa-apa. Dan yang lebih menggembirakan lagi karena Tim A bisa tampil sebagai juara III meski persiapannya hanya beberapa hari saja. Selamat deh, meski Bapak Ibu sudah pada sepuh (namanya juga lansia ...), Anda semua tampil sangat bersemangat dan percaya diri. Ini bisa jadi contoh bagi yang muda-muda.
Ada yang berbeda pada Tim Senduro dibanding dengan tim dari kecamatan lainnya. Tim Senduro datang mewakili forum karang werda. Sedangkan dari kecamatan lainnya umumnya mewakili puskesmas atau posyandu lansia. Mengapa hal ini kami angkat sebagai suatu pembeda? Ini karena keberadaan karang werda lebih mencerminkan kemandirian lansia ketimbang posyandu yang lebih merepresentasikan peran puskesmas. Untuk diketahui, sejak Nopember 2008 ini komunitas lansia Senduro telah sukses membentuk wadah para lansia berupa karang werda di semua desa di Kecamatan Senduro yang difasilitasi oleh puskesmas, kecamatan dan sektor lainnya. Itulah bentuk dasar pembinaan dan pelayanan terhadap lansia yang kami lakukan. Suatu bentuk community organization dan community development.
Bagi saya, keikutsertaan lomba semacam ini bisa dimanfaatkan sebagai ajang memberikan reinforcement terhadap para lansia, sehingga mereka lebih bersemangat lagi dalam berkegiatan. Di samping itu menjadi wahana untuk kebersamaan lintas sektor dalam membina para lansia dan memudahkan proses advokasi santun lansia yang sedang digalakkan puskesmas.
Selamat kepada para lansia, tetaplah bersemangat. Bersama kita bisa (bukan kampanye politik lho). Bagaimana kegiatan lansia di tempat Anda, saya senang bila Anda berbagi dengan saya di sini untuk kemajuan santun lansia di Senduro.
Related post:
1. Sekilas Puskesmas santun Lansia
2. Rakor Kesehatan Lansia Propinsi Jawa Timur
3. Safari Santun Lansia ke Desa Ranupani
Lomba senam diabetes untuk lansia diselenggarakan di GOR Wira Bhakti Lumajang dan diadakan oleh Balai Kesehatan Olah Raga Lumajang dalam rangka Hari Kesehatan Nasional (HKN) 2008. Ikut serta dalam lomba ini perwakilan komunitas lansia dari seluruh kecamatan di Kabupaten Lumajang. Untuk penilaian, lomba dilaksanakan menjadi delapan putaran yang masing-masing berdurasi tidak kurang dari 30 menit.
Forum Karang werda kecamatan Senduro mengirim dua tim yang masing-masing terdiri dari lima orang lansia plus dua orang cadangan dan dua official tim. Saya sebagai kepala puskesmas yang tentunya paling bertanggung jawab atas kesehatan peserta merasa was-was juga. Itu karena anggota yang dikirim rata-rata sudah udzur (baca sepuh sekali) yang tidak check up kesehatan secara lengkap terlebih dahulu. Jangan-jangan nanti terjadi apa-apa. Tetapi Alhamdulillah sampai akhir acara ternyata tidak terjadi apa-apa. Dan yang lebih menggembirakan lagi karena Tim A bisa tampil sebagai juara III meski persiapannya hanya beberapa hari saja. Selamat deh, meski Bapak Ibu sudah pada sepuh (namanya juga lansia ...), Anda semua tampil sangat bersemangat dan percaya diri. Ini bisa jadi contoh bagi yang muda-muda.
Ada yang berbeda pada Tim Senduro dibanding dengan tim dari kecamatan lainnya. Tim Senduro datang mewakili forum karang werda. Sedangkan dari kecamatan lainnya umumnya mewakili puskesmas atau posyandu lansia. Mengapa hal ini kami angkat sebagai suatu pembeda? Ini karena keberadaan karang werda lebih mencerminkan kemandirian lansia ketimbang posyandu yang lebih merepresentasikan peran puskesmas. Untuk diketahui, sejak Nopember 2008 ini komunitas lansia Senduro telah sukses membentuk wadah para lansia berupa karang werda di semua desa di Kecamatan Senduro yang difasilitasi oleh puskesmas, kecamatan dan sektor lainnya. Itulah bentuk dasar pembinaan dan pelayanan terhadap lansia yang kami lakukan. Suatu bentuk community organization dan community development.
Bagi saya, keikutsertaan lomba semacam ini bisa dimanfaatkan sebagai ajang memberikan reinforcement terhadap para lansia, sehingga mereka lebih bersemangat lagi dalam berkegiatan. Di samping itu menjadi wahana untuk kebersamaan lintas sektor dalam membina para lansia dan memudahkan proses advokasi santun lansia yang sedang digalakkan puskesmas.
Selamat kepada para lansia, tetaplah bersemangat. Bersama kita bisa (bukan kampanye politik lho). Bagaimana kegiatan lansia di tempat Anda, saya senang bila Anda berbagi dengan saya di sini untuk kemajuan santun lansia di Senduro.
Related post:
1. Sekilas Puskesmas santun Lansia
2. Rakor Kesehatan Lansia Propinsi Jawa Timur
3. Safari Santun Lansia ke Desa Ranupani
Label:
karang werda,
lumajang,
pemberdayaan,
puskesmas,
santun lansia,
senam diabetes
Kamis, 04 Desember 2008
Penertiban Obat Tradisional dari Bahan Kimia Berbahaya Tergantung Penegakan Hukum
Akhir-akhir ini marak diberitakan masalah jamu / obat tradisional yang mengandung bahan kimia. Sudah ratusan merek yang teridentifikasi dan sudah masuk daftar dilarang beredar oleh Badan POM. Itu menimpa baik pada merek yang belum maupun pada obat yang sudah teregistrasi.
Liputan6.com, Jakarta: Heboh tentang obat kuat dan suplemen stamina pria yang mengandung zat berbahaya masih bergulir. Razia dan penarikan produk juga terus dilakukan petugas Balai Pengawasan Obat dan Makanan di berbagai daerah sepanjang dua pekan terakhir. Di Jawa Timur, misalnya, petugas memergoki satu truk yang membawa aneka jamu mengandung obat kuat berbahaya dan menggerebek sebuah gudang obat ilegal.
Dari razia yang digelar di 19 daerah, Balai POM kemudian memutuskan menarik 22 merek jamu dan suplemen seks. Sebanyak 19 merek di antaranya diproduksi farmasi gelap, sedangkan tiga suplemen lainnya diproduksi perusahaan farmasi terkemuka. Balai POM menyatakan, 22 obat tradisional dan suplemen stamina pria tersebut terbukti mengandung obat kuat berbahaya tadalafil dan sildenafil sitrat.
Tapi, upaya itu tak membuat produk-produk tersebut lenyap dari pasaran. Buktinya, konsumen tetap bisa mendapatkan obat atau suplemen yang mereka butuhkan, kendati berbahaya. Bahkan, tak sedikit pula muncul pembeli baru yang penasaran dan ingin mencoba "keperkasaan" obat-obat itu. Tak bisa disangkal, mereka yang pernah mencoba umumnya akan menjadi konsumen setia .
Sejumlah konsumen mengatakan, sekali mengonsumsi biasanya akan keterusan dan sulit untuk lepas. Selain itu, akan muncul rasa tidak percaya diri saat berhadapan dengan pasangan jika tidak mengonsumsi suplemen penambah gairah. "Dari abang becak sampai eksekutif muda menggunakannya," ujar dokter Boyke Dian Nugraha, seorang seksolog.
Indonesia dengan 230 juta penduduknya memang sangat potensial bagi bisnis obat tradisional maupun suplemen. Sayang, tidak sedikit di antara obat-obat itu yang kemudian malah berbalik menjadi pembawa celaka.(ADO, liputan6.com)
Komentar-komentar seputar bahayanya juga tidak kalah heboh bila kita ikuti di
media massa. Dari sudut pandang medis penggunaan bahan kimia obat ke dalam obat tradisional secara illegal tersebut dapat membahayakan berbagai organ vital. Hati dan ginjal adalah organ vital yang paling rentan karena di situlah metabolisme dan ekskresi obat-obatan berlangsung. Bahkan akibat terburuknya adalah kematian.
YLKI sangat menyayangkan maraknya peredaran obat tradisional berbahan kimia obat tersebut. Obat/jamu yang demikian itu sebenarnya telah membohongi para konsumes, di samping bahayanya terhadap kesehatan. Orang pakai jamu tradisional itu karena ingin menghindari obat kimia bukan?
Bagaimana penanganannya? Saya percaya pemerintah pasti sudah mengupayakannya dengan sungguh-sungguh. Kalau kita lihat di televisi, sweeping-sweeping kerap dilaksanakan dengan melibatkan instansi terkait. Sebagai gambaran betapa seriusnya pemerintah menangani masalah ini, dalam beberapa bulan terakhir puskesmas saya sudah menerima beberapa surat yang berisi perintah agar menindaklanjuti masalah ini di lapangan.
Kesulitan yang kami alami di lapangan adalah tidak sinkronnya penanganan masalah ini dengan penegakan hukum. Pada hal masalahnya adalah pelanggaran kriminal. Sudah jelas-jelas melanggar UU Kesehatan, Undang-undang Praktek Kedokteran dan Undang-undang Perlindungan Konsumen. Ini bukan sekedar memberdayakan masyarakat dari tidak tahu menjadi tahu, menjadi mau dan mampu menghindarinya. Tetapi ini masalah kriminal dari para produsen, distributor, hingga penjual di tingkat pengecer. Tunjukkan saja ketegasan hukum terutama bagi produsennya dan ekspose melalui media masa. Saya yakin akan ada efek jera, tidak seperti selama ini yang terkesan aman-aman saja bagi pelaku kriminalnya. Mungkin statement saya yang terakhir ini salah, tapi setidaknya itulah kesan yang saya tangkap melalui media.
Kalau tahu begitu kenapa tidak Anda laksanakan di kecamatan Anda? Bukankah penegakan hukum bisa dilaksanakan dengan cara Anda melibatkan Polsek dalam sweeping? Sita barang-barangnya dan seret para pihak yang terlibat ke pengadilan? Itukah yang sedang Anda pikirkan tentang saya? Ah, itu terlalu jauh untuk dilakukan seorang kepala puskesmas. Itu semua sebenarnya sudah bisa dilakukan oleh penegak hukum kapanpun bila mereka mau.
Bukankah Anda bisa lakukan advokasi kepada penegak hukum di level kecamatan? Jawabnya adalah percuma!
Lho, kok? Anda tahu bagaimana reputasi penegakan hukum di negeri ini kan? Lagian kata para pengamat hukum yang pinter-pinter itu, PENEGAKAN HUKUM HARUS MENGALIR DARI ATAS ALIAS TOP DOWN. Kalau begitu ya amat tergantung seberapa kuat komitmen dari atas dong. Anda pernah mendengar instruksi Kapolri yang waktu itu masih Sutanto agar seluruh jajarannya memberangus perjudian di seluruh Indonesia dalam tiga bulan, kalau tidak maka Kapolresnya akan dimutasi. Ternyata dalam beberapa hari saja perjudian sudah tak terlihat lagi. Belakangan yang kita dengar adalah instruksi untuk menyikat habis para preman yang mengganggu masyarakat. Maka terjadilah penyisiran para preman di seluruh pelosok kota se-Indonesia bukan?
Bagaimana dengan bahan kimia dalam obat tradisional? Itu juga merupakan bagian dari masalah yang lebih luas betapa di negeri ini rasa aman itu masih mahal sekali.
Liputan6.com, Jakarta: Heboh tentang obat kuat dan suplemen stamina pria yang mengandung zat berbahaya masih bergulir. Razia dan penarikan produk juga terus dilakukan petugas Balai Pengawasan Obat dan Makanan di berbagai daerah sepanjang dua pekan terakhir. Di Jawa Timur, misalnya, petugas memergoki satu truk yang membawa aneka jamu mengandung obat kuat berbahaya dan menggerebek sebuah gudang obat ilegal.
Dari razia yang digelar di 19 daerah, Balai POM kemudian memutuskan menarik 22 merek jamu dan suplemen seks. Sebanyak 19 merek di antaranya diproduksi farmasi gelap, sedangkan tiga suplemen lainnya diproduksi perusahaan farmasi terkemuka. Balai POM menyatakan, 22 obat tradisional dan suplemen stamina pria tersebut terbukti mengandung obat kuat berbahaya tadalafil dan sildenafil sitrat.
Tapi, upaya itu tak membuat produk-produk tersebut lenyap dari pasaran. Buktinya, konsumen tetap bisa mendapatkan obat atau suplemen yang mereka butuhkan, kendati berbahaya. Bahkan, tak sedikit pula muncul pembeli baru yang penasaran dan ingin mencoba "keperkasaan" obat-obat itu. Tak bisa disangkal, mereka yang pernah mencoba umumnya akan menjadi konsumen setia .
Sejumlah konsumen mengatakan, sekali mengonsumsi biasanya akan keterusan dan sulit untuk lepas. Selain itu, akan muncul rasa tidak percaya diri saat berhadapan dengan pasangan jika tidak mengonsumsi suplemen penambah gairah. "Dari abang becak sampai eksekutif muda menggunakannya," ujar dokter Boyke Dian Nugraha, seorang seksolog.
Indonesia dengan 230 juta penduduknya memang sangat potensial bagi bisnis obat tradisional maupun suplemen. Sayang, tidak sedikit di antara obat-obat itu yang kemudian malah berbalik menjadi pembawa celaka.(ADO, liputan6.com)
Komentar-komentar seputar bahayanya juga tidak kalah heboh bila kita ikuti di
media massa. Dari sudut pandang medis penggunaan bahan kimia obat ke dalam obat tradisional secara illegal tersebut dapat membahayakan berbagai organ vital. Hati dan ginjal adalah organ vital yang paling rentan karena di situlah metabolisme dan ekskresi obat-obatan berlangsung. Bahkan akibat terburuknya adalah kematian.
YLKI sangat menyayangkan maraknya peredaran obat tradisional berbahan kimia obat tersebut. Obat/jamu yang demikian itu sebenarnya telah membohongi para konsumes, di samping bahayanya terhadap kesehatan. Orang pakai jamu tradisional itu karena ingin menghindari obat kimia bukan?
Bagaimana penanganannya? Saya percaya pemerintah pasti sudah mengupayakannya dengan sungguh-sungguh. Kalau kita lihat di televisi, sweeping-sweeping kerap dilaksanakan dengan melibatkan instansi terkait. Sebagai gambaran betapa seriusnya pemerintah menangani masalah ini, dalam beberapa bulan terakhir puskesmas saya sudah menerima beberapa surat yang berisi perintah agar menindaklanjuti masalah ini di lapangan.
Kesulitan yang kami alami di lapangan adalah tidak sinkronnya penanganan masalah ini dengan penegakan hukum. Pada hal masalahnya adalah pelanggaran kriminal. Sudah jelas-jelas melanggar UU Kesehatan, Undang-undang Praktek Kedokteran dan Undang-undang Perlindungan Konsumen. Ini bukan sekedar memberdayakan masyarakat dari tidak tahu menjadi tahu, menjadi mau dan mampu menghindarinya. Tetapi ini masalah kriminal dari para produsen, distributor, hingga penjual di tingkat pengecer. Tunjukkan saja ketegasan hukum terutama bagi produsennya dan ekspose melalui media masa. Saya yakin akan ada efek jera, tidak seperti selama ini yang terkesan aman-aman saja bagi pelaku kriminalnya. Mungkin statement saya yang terakhir ini salah, tapi setidaknya itulah kesan yang saya tangkap melalui media.
Kalau tahu begitu kenapa tidak Anda laksanakan di kecamatan Anda? Bukankah penegakan hukum bisa dilaksanakan dengan cara Anda melibatkan Polsek dalam sweeping? Sita barang-barangnya dan seret para pihak yang terlibat ke pengadilan? Itukah yang sedang Anda pikirkan tentang saya? Ah, itu terlalu jauh untuk dilakukan seorang kepala puskesmas. Itu semua sebenarnya sudah bisa dilakukan oleh penegak hukum kapanpun bila mereka mau.
Bukankah Anda bisa lakukan advokasi kepada penegak hukum di level kecamatan? Jawabnya adalah percuma!
Lho, kok? Anda tahu bagaimana reputasi penegakan hukum di negeri ini kan? Lagian kata para pengamat hukum yang pinter-pinter itu, PENEGAKAN HUKUM HARUS MENGALIR DARI ATAS ALIAS TOP DOWN. Kalau begitu ya amat tergantung seberapa kuat komitmen dari atas dong. Anda pernah mendengar instruksi Kapolri yang waktu itu masih Sutanto agar seluruh jajarannya memberangus perjudian di seluruh Indonesia dalam tiga bulan, kalau tidak maka Kapolresnya akan dimutasi. Ternyata dalam beberapa hari saja perjudian sudah tak terlihat lagi. Belakangan yang kita dengar adalah instruksi untuk menyikat habis para preman yang mengganggu masyarakat. Maka terjadilah penyisiran para preman di seluruh pelosok kota se-Indonesia bukan?
Bagaimana dengan bahan kimia dalam obat tradisional? Itu juga merupakan bagian dari masalah yang lebih luas betapa di negeri ini rasa aman itu masih mahal sekali.
Label:
jamu,
obat tradisional,
penegakan hukum,
puskesmas
Selasa, 02 Desember 2008
Desa Siaga: Lumajang Selangkah Lebih Maju
Selamat atas suksesnya penyelenggaraan pelatihan TOT Poskesdes Desa Siaga oleh Dinkes Propinsi di Surabaya. Beberapa kepala puskesmas dari Lumajang (saya bukan peserta) mengikutinya hingga usai. Pasti banyak ilmu yang dapat dipetik melalui TOT semacam itu. Selain itu akan menjadi ajang sharing antar peserta yang datang dari beberapa kabupaten dan kota. Pengalamannya pasti beragam.
Poskesdes (Pos Kesehatan Desa) adalah upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat (UKBM) yang dibentuk di desa / kelurahan dalam rangka mendekatkan / menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa / kelurahan (selanjutnya disebut desa saja). Tujuan dibentuknya poskesdes adalah untuk mewujudkan masyarakat sehat yang siaga terhadap permasalaahan kesehatan di wilayah desa. Dan menurut SK Menkes No.564/Menkes/SK/VIII/2006 sebuah desa dikatakan desa siaga apabila memiliki ciri utama yaitu adanya poskesdes di desa tersebut.
Fungsi poskesdes adalah:
Tetapi secara faktual (setidaknya dari curhatnya pelaksana lapangan dari berbagai daerah) poskesdes lebih mewakili peran bidan desa dari pada masyarakat. Karena sebagaian besar operasional poskesdes dikerjakan oleh bidan desa. Jadi bidan desalah (dibantu beberapa kader) yang menjalankan desa siaga. Ekstrimnya malah poskesdes identik dengan bidan desa. Mungkin gedung poskesdesnya yang sebagian dibangun melalui dana anggaran desa lebih dapat diklaim sebagai kontribusi masyarakat. Itupun kenyataannya poskesdes dan bahkan juga poskestren banyak yang dibangun dari dana subsidi juga.
Nah, bagaimana di Kabupaten Lumajang? Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa desa siaga di kabupaten ini adalah yang terbaik. Tidak. Di Karanganyar Jawa Tengah, Solok Sumatra Barat, dan Donggala Sulawesi Tengah ternyata sangat baik. Dan mungkin di berbagai daerah lainnya, termasuk daerah Anda. Judul posting ini saya buat demikian untuk menunjukkan bahwa konsep desa siaga Depkes itu dimaksudkan agar bisa direalisasikan di semua daerah yang tentunya memiliki prakondisi yang berbeda-beda. Lumajang memiliki pra kondisi berupa tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi dalam pembangunan kesehatan sebagai hasil pelaksanaan gerakan yang disebut gerbangmas sejak tahun 2005. Karena itu maka desa siaga di Lumajang secara riel dikendalikan oleh masyarakat melalui pokja gerbangmas. Itulah yang saya maksudkan dengan satu tingkat lebih maju.
Jadi operasional desa siaga lebih dikendalikan oleh pokja gerbangmas dari pada oleh poskesdes. Untuk menyesuaikan dengan kepentingan desa siaga maka sebagian besar pokja mengganti namanya menjadi forum masyarakat desa siaga. Tetapi keduanya tetap sama, yaitu sebuah kelompok kerja. Nah, poskesdes kemudian lebih berperan memfasilitasi masyarakat dan kader, di samping yankes dasar tentunya.
Kecenderungan di atas terjadi begitu saja secara alamiah. Saya tahu persis karena saya adalah fasilitator desa siaga kabupaten yang sedari awal memang tidak mengkondisikan struktur organisasi dan batasan fungsi forum masyarakat. Kami hanya mendorong semaksimal mungkin masyarakat dapat lebih mandiri dalam mengatasi semua permasalahan mereka sendiri. Dan ternyata secara alami masyarakat telah memilih peran yang lebih aktif. Sekali lagi, mungkin karena sudah terbiasa aktif melalui gerbangmas.
Bahkan Desa Kenongo Kecamatan Gucialit yang merupakan salah satu ikon desa siaga nasional telah menjadi desa siaga dengan profil sedemikian rupa dan kelembagaan yang seperti itu benar-benar lahir murni dari keinginan masyarakat setempat. Waktu itu saya dan tim sekedar memfasilitasi saja. Pada hal pada tataran pembuat kebijakan di pusat dan daerah saat itu masih ada semacam kesimpangsiuran (maaf kalau saya salah). Untunglah Dinkes Lumajang setuju ketika kami membiarkan semua mengalir sesuai apa yang diinginkan masyarakat.
Karena itulah maka hingga sekarang model desa siaga, struktur organisasi, mekanisme pencatatan dan pelaporan sampai masalah teknis operasional berbeda-beda antara satu desa dengan lainnya. Tetapi tetap ada yang sama, yaitu penempatan masyarakat pada posisi penentu dalam hal mengenali masalah kesehatan di desa, membuat keputusan tindak lanjut, melaksanakan kegiatan, hingga monitor dan evaluasinya.
Begitulah, pendapat ini tidak dimaksudkan mewakili sikap Dinkes Lumajang, ini hanya opini saya pribadi. Bila ada pendapat lain silakan tinggalkan komentar sebagai koreksi untuk saya. Terima kasih.
Poskesdes (Pos Kesehatan Desa) adalah upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat (UKBM) yang dibentuk di desa / kelurahan dalam rangka mendekatkan / menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa / kelurahan (selanjutnya disebut desa saja). Tujuan dibentuknya poskesdes adalah untuk mewujudkan masyarakat sehat yang siaga terhadap permasalaahan kesehatan di wilayah desa. Dan menurut SK Menkes No.564/Menkes/SK/VIII/2006 sebuah desa dikatakan desa siaga apabila memiliki ciri utama yaitu adanya poskesdes di desa tersebut.
Fungsi poskesdes adalah:
- Wahana partisipai masyarakat
- Wahana kewaspadaan dini
- Wahana pelayanan kesehatan dasar
- Wahana jejaring UKBM.
Tetapi secara faktual (setidaknya dari curhatnya pelaksana lapangan dari berbagai daerah) poskesdes lebih mewakili peran bidan desa dari pada masyarakat. Karena sebagaian besar operasional poskesdes dikerjakan oleh bidan desa. Jadi bidan desalah (dibantu beberapa kader) yang menjalankan desa siaga. Ekstrimnya malah poskesdes identik dengan bidan desa. Mungkin gedung poskesdesnya yang sebagian dibangun melalui dana anggaran desa lebih dapat diklaim sebagai kontribusi masyarakat. Itupun kenyataannya poskesdes dan bahkan juga poskestren banyak yang dibangun dari dana subsidi juga.
Nah, bagaimana di Kabupaten Lumajang? Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa desa siaga di kabupaten ini adalah yang terbaik. Tidak. Di Karanganyar Jawa Tengah, Solok Sumatra Barat, dan Donggala Sulawesi Tengah ternyata sangat baik. Dan mungkin di berbagai daerah lainnya, termasuk daerah Anda. Judul posting ini saya buat demikian untuk menunjukkan bahwa konsep desa siaga Depkes itu dimaksudkan agar bisa direalisasikan di semua daerah yang tentunya memiliki prakondisi yang berbeda-beda. Lumajang memiliki pra kondisi berupa tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi dalam pembangunan kesehatan sebagai hasil pelaksanaan gerakan yang disebut gerbangmas sejak tahun 2005. Karena itu maka desa siaga di Lumajang secara riel dikendalikan oleh masyarakat melalui pokja gerbangmas. Itulah yang saya maksudkan dengan satu tingkat lebih maju.
Jadi operasional desa siaga lebih dikendalikan oleh pokja gerbangmas dari pada oleh poskesdes. Untuk menyesuaikan dengan kepentingan desa siaga maka sebagian besar pokja mengganti namanya menjadi forum masyarakat desa siaga. Tetapi keduanya tetap sama, yaitu sebuah kelompok kerja. Nah, poskesdes kemudian lebih berperan memfasilitasi masyarakat dan kader, di samping yankes dasar tentunya.
Kecenderungan di atas terjadi begitu saja secara alamiah. Saya tahu persis karena saya adalah fasilitator desa siaga kabupaten yang sedari awal memang tidak mengkondisikan struktur organisasi dan batasan fungsi forum masyarakat. Kami hanya mendorong semaksimal mungkin masyarakat dapat lebih mandiri dalam mengatasi semua permasalahan mereka sendiri. Dan ternyata secara alami masyarakat telah memilih peran yang lebih aktif. Sekali lagi, mungkin karena sudah terbiasa aktif melalui gerbangmas.
Bahkan Desa Kenongo Kecamatan Gucialit yang merupakan salah satu ikon desa siaga nasional telah menjadi desa siaga dengan profil sedemikian rupa dan kelembagaan yang seperti itu benar-benar lahir murni dari keinginan masyarakat setempat. Waktu itu saya dan tim sekedar memfasilitasi saja. Pada hal pada tataran pembuat kebijakan di pusat dan daerah saat itu masih ada semacam kesimpangsiuran (maaf kalau saya salah). Untunglah Dinkes Lumajang setuju ketika kami membiarkan semua mengalir sesuai apa yang diinginkan masyarakat.
Karena itulah maka hingga sekarang model desa siaga, struktur organisasi, mekanisme pencatatan dan pelaporan sampai masalah teknis operasional berbeda-beda antara satu desa dengan lainnya. Tetapi tetap ada yang sama, yaitu penempatan masyarakat pada posisi penentu dalam hal mengenali masalah kesehatan di desa, membuat keputusan tindak lanjut, melaksanakan kegiatan, hingga monitor dan evaluasinya.
Begitulah, pendapat ini tidak dimaksudkan mewakili sikap Dinkes Lumajang, ini hanya opini saya pribadi. Bila ada pendapat lain silakan tinggalkan komentar sebagai koreksi untuk saya. Terima kasih.
Label:
desa siaga,
kenongo,
lumajang,
partisipasi,
poskesdes
Jumat, 28 November 2008
Pemberdayaan: Sukses Secara Gratis, Mungkinkah?
Untuk melanjutkan pertanyaan…. Kalau Anda seorang sanitarian puskesmas, dapatkah Anda menjamin semua warganya membuat dan menggunakan jamban tanpa dana bantuan? Kalau Anda seorang bidan desa, dapatkah anda melaksanakan parent education atau P4K tanpa uang? Atau kalau Anda seorang promkes puskesmas dapatkah Anda membangun gedung posyandu tanpa duit? Dan bila Anda seorang petugas surveilans dapatkah Anda melaksanakan pemeriksaan jentik berkala di semua rumah secara rutin seminggu sekali dengan gratis?
Apa jawaban Anda? Ya, memang apa yang bisa gratis, buang air kecil saja harus bayar. Membuat jamban perlu material dan tukang yang semuanya harus bayar. Kalau cuma cuap-cuap memberi penyuluhan paling-paling warga hanya inggah-inggih tapi ora kepangge (jawab ya tapi tidak mengerjakan). Kalau kita tidak membawa bantuan paling-paling hanya beberapa orang saja yang buat jamban sukarela, lainnya cuek saja.
Sama juga dengan kegiatan parent education. Pelaksanaan kegiatan ini perlu mengumpulkan banyak orang. Jadi butuh dana untuk konsumsi dan transportasi mereka. Kegiatannya tidak cukup sekali karena harus rutin.Dan siapa yang akan bayar? Membuat posyandu juga begitu, masak orang disuruh kerja bakti terus? Apalagi pemeriksaan jentik berkala. Berapa rumah yang harus diperiksa, ribuan bukan? Itu artinya kita mesti membayar puluhan atau bahkan ratusan juru pemantau jentik. Sudah dibayar saja pemeriksaannya tidak rutin apa lagi kalau gratis.
Tetapi saya katakan kepada Anda, semua itu bisa dengan sukses tanpa dana.
Sebagian Anda sudah tahu kemana arah pembicaraan saya. Betul sekali. Sebenarnya masyarakat kita memiliki sesuatu, bukan tidak punya apa-apa sama sekali. Sehingga kita tidak perlu selalu memberi. Kalau mereka sering meminta-minta sebenarnya hanya karena mereka tidak menyadari dirinya bisa mandiri. Atau mungkin karena kita sering mengkondisikan bahwa mereka lemah. Kita senang berpidato seakan-akan mereka bodoh semua. Kita sering membawa sumbangan atau stimulant atau apa lagi namanya seolah mereka akan kelaparan tanpa sedekah kita. Kalau tiap hari disuapi, maka selamanya akan bergantung.
Masyarakat, lapisan manapun pasti memiliki kapabilitas. Mungkin mereka mampu melaksanakan sesuatu, tapi tidak mau. Mungkin mereka mau berbuat sesuatu, tapi tidak tahu dari mana harus memulainya. Mungkin sendiri-sendiri tidak mampu tapi seandainya mereka bisa bersama-sama menjadi bisa. Mungkin mau dan merasa mampu tapi tidak ada yang mengajak berpartisipasi. Mungkin mereka cuek akan sesuatu karena memang belum pernah terlintas di benaknya akan hal tersebut.
Kita menjadi katalisator saja sehingga kemudian masyarakat sendiri akan berinteraksi di antara mereka. Tidak perlu banyak nasihat seakan kita paling pintar. Biarkan mereka mencari jalan keluar masalah mereka sendiri. Kita picu agar bisa tumbuh komitmen yang kuat atas rencana yang telah mereka susun sendiri. Support seperlunya mungkin ada baiknya anda berikan. Bila mereka mulai lelah atau jenuh berilah mereka sekedar penyemangat kembali atau reinforcement.
Jadi cukuplah kalau seorang petugas berperan sebagai fasilitator masyarakat. Tidak perlu datang ke masyarakat dengan gaya pejabat yang memegang kekuasaan dan kebijaksanaan. Hindari sikap upper and lower yang hanya akan membuat gap dengan mereka. Anda tidak perlu banyak berpidato. Untuk diketahui, dua orang staf yang pernah jadi promkes saya tidak pandai berorasi. Yang satu bicaranya gremeng (suaranya seperti tertelan sendiri) dan jarang mau pidato, sedang satunya lagi walau agak sering pegang microphone tapi suaranya memekakkan telinga dan tidak menarik sama sekali. Tetapi keduanya adalah tenaga promkes paling efektif menggerakkan masyarakat yang pernah saya kenal. Dan merekalah andalan saya di lapangan yang sangat luar biasa.
Lalu bagaimana kalau sebagian masyarakat memang benar-benar lemah? ….. Tepat sekali, memberi itu bukan perbuatan terlarang. Apa lagi kalau yang memberi itu adalah pemerintahnya sendiri. Pertanyaannya: Bagaimana kalau subsidi untuk itu tidak ada? Kita diam saja menunggu sampai dana yang kita usulkan turun? Kita juga tidak dilarang membuat proposal untuk mencari bantuan, tapi jangan sekali-kali meremehkan potensi masyarakat itu sendiri yang disebut solidaritas. Dengan solidaritas itulah kita bisa memicu sikaya membantu simiskin, sikuat menyokong silemah.
Kalau miskin dan lemah semua gimana? Maka setidaknya mereka dapat bersatu sehingga masih ada yang dapat mereka kerjakan untuk menolong mereka sendiri.
Jadi, percayalah bahwa masyarakat memiliki KAPABILITAS DAN SOLIDARITAS. Itulah kunci keberhasilan saya dan tim melaksanakan program-program pemberdayaan masyarakat, seperti CLTS / Stop BABS.
Wah-wah, penulis tidak suka duit nih. He-he hari gini mana ada orang tidak mau duit. Bukan begitu maksudnya. Kita bekerja secara profesional dan hasilnya untuk nafkah keluarga bukan? Saya sangat senang bila bekerja dengan gaji tinggi, ada insentif untuk semua prestasi dan cukup dana maupun sarana untuk melaksanakan semuanya. Tapi negeri ini ….. Bahkan 63 tahun merdeka, kita masih belum merdeka dari busung lapar.
Apakah anda sedang berfikir: Di tempat Anda tidak bisa begitu karena masyarakat Anda sangat sulit partisipasinya? Jawab saya adalah: Kesulitan di mana-mana selalu ada. Dengan bina suasana masyarakat yang baik maka partisipasi mereka akan Anda dapat. Ini bukan slogan, saya dan tim sudah membuktikannya.
Apa jawaban Anda? Ya, memang apa yang bisa gratis, buang air kecil saja harus bayar. Membuat jamban perlu material dan tukang yang semuanya harus bayar. Kalau cuma cuap-cuap memberi penyuluhan paling-paling warga hanya inggah-inggih tapi ora kepangge (jawab ya tapi tidak mengerjakan). Kalau kita tidak membawa bantuan paling-paling hanya beberapa orang saja yang buat jamban sukarela, lainnya cuek saja.
Sama juga dengan kegiatan parent education. Pelaksanaan kegiatan ini perlu mengumpulkan banyak orang. Jadi butuh dana untuk konsumsi dan transportasi mereka. Kegiatannya tidak cukup sekali karena harus rutin.Dan siapa yang akan bayar? Membuat posyandu juga begitu, masak orang disuruh kerja bakti terus? Apalagi pemeriksaan jentik berkala. Berapa rumah yang harus diperiksa, ribuan bukan? Itu artinya kita mesti membayar puluhan atau bahkan ratusan juru pemantau jentik. Sudah dibayar saja pemeriksaannya tidak rutin apa lagi kalau gratis.
Tetapi saya katakan kepada Anda, semua itu bisa dengan sukses tanpa dana.
Sebagian Anda sudah tahu kemana arah pembicaraan saya. Betul sekali. Sebenarnya masyarakat kita memiliki sesuatu, bukan tidak punya apa-apa sama sekali. Sehingga kita tidak perlu selalu memberi. Kalau mereka sering meminta-minta sebenarnya hanya karena mereka tidak menyadari dirinya bisa mandiri. Atau mungkin karena kita sering mengkondisikan bahwa mereka lemah. Kita senang berpidato seakan-akan mereka bodoh semua. Kita sering membawa sumbangan atau stimulant atau apa lagi namanya seolah mereka akan kelaparan tanpa sedekah kita. Kalau tiap hari disuapi, maka selamanya akan bergantung.
Masyarakat, lapisan manapun pasti memiliki kapabilitas. Mungkin mereka mampu melaksanakan sesuatu, tapi tidak mau. Mungkin mereka mau berbuat sesuatu, tapi tidak tahu dari mana harus memulainya. Mungkin sendiri-sendiri tidak mampu tapi seandainya mereka bisa bersama-sama menjadi bisa. Mungkin mau dan merasa mampu tapi tidak ada yang mengajak berpartisipasi. Mungkin mereka cuek akan sesuatu karena memang belum pernah terlintas di benaknya akan hal tersebut.
Kita menjadi katalisator saja sehingga kemudian masyarakat sendiri akan berinteraksi di antara mereka. Tidak perlu banyak nasihat seakan kita paling pintar. Biarkan mereka mencari jalan keluar masalah mereka sendiri. Kita picu agar bisa tumbuh komitmen yang kuat atas rencana yang telah mereka susun sendiri. Support seperlunya mungkin ada baiknya anda berikan. Bila mereka mulai lelah atau jenuh berilah mereka sekedar penyemangat kembali atau reinforcement.
Jadi cukuplah kalau seorang petugas berperan sebagai fasilitator masyarakat. Tidak perlu datang ke masyarakat dengan gaya pejabat yang memegang kekuasaan dan kebijaksanaan. Hindari sikap upper and lower yang hanya akan membuat gap dengan mereka. Anda tidak perlu banyak berpidato. Untuk diketahui, dua orang staf yang pernah jadi promkes saya tidak pandai berorasi. Yang satu bicaranya gremeng (suaranya seperti tertelan sendiri) dan jarang mau pidato, sedang satunya lagi walau agak sering pegang microphone tapi suaranya memekakkan telinga dan tidak menarik sama sekali. Tetapi keduanya adalah tenaga promkes paling efektif menggerakkan masyarakat yang pernah saya kenal. Dan merekalah andalan saya di lapangan yang sangat luar biasa.
Lalu bagaimana kalau sebagian masyarakat memang benar-benar lemah? ….. Tepat sekali, memberi itu bukan perbuatan terlarang. Apa lagi kalau yang memberi itu adalah pemerintahnya sendiri. Pertanyaannya: Bagaimana kalau subsidi untuk itu tidak ada? Kita diam saja menunggu sampai dana yang kita usulkan turun? Kita juga tidak dilarang membuat proposal untuk mencari bantuan, tapi jangan sekali-kali meremehkan potensi masyarakat itu sendiri yang disebut solidaritas. Dengan solidaritas itulah kita bisa memicu sikaya membantu simiskin, sikuat menyokong silemah.
Kalau miskin dan lemah semua gimana? Maka setidaknya mereka dapat bersatu sehingga masih ada yang dapat mereka kerjakan untuk menolong mereka sendiri.
Jadi, percayalah bahwa masyarakat memiliki KAPABILITAS DAN SOLIDARITAS. Itulah kunci keberhasilan saya dan tim melaksanakan program-program pemberdayaan masyarakat, seperti CLTS / Stop BABS.
Wah-wah, penulis tidak suka duit nih. He-he hari gini mana ada orang tidak mau duit. Bukan begitu maksudnya. Kita bekerja secara profesional dan hasilnya untuk nafkah keluarga bukan? Saya sangat senang bila bekerja dengan gaji tinggi, ada insentif untuk semua prestasi dan cukup dana maupun sarana untuk melaksanakan semuanya. Tapi negeri ini ….. Bahkan 63 tahun merdeka, kita masih belum merdeka dari busung lapar.
Apakah anda sedang berfikir: Di tempat Anda tidak bisa begitu karena masyarakat Anda sangat sulit partisipasinya? Jawab saya adalah: Kesulitan di mana-mana selalu ada. Dengan bina suasana masyarakat yang baik maka partisipasi mereka akan Anda dapat. Ini bukan slogan, saya dan tim sudah membuktikannya.
Selasa, 25 November 2008
SMART Action Plan: Stop BAB Sembarangan
(Dibuat pada 26 Pebruari 2008)
I.ISSUE / SITUASI YANG MUNGKIN DAPAT DIUBAH:
Sampai dengan akhir 2007 masih ada 735 KK di Kecamatan Senduro Kab. Lumajang yang BAB sembarangan. Berpuluh tahun telah dilakukan upaya-upaya untuk mengubah situasi ini, umumnya dengan subsidi pemerintah. Banyak kemajuan dicapai tetapi tidak pernah bisa ODF (Open Defecation Free). Kebisaan BAB lebih ditentukan oleh perilaku, bukan semata kemampuan membangun jamban. Metode yang telah terbukti berhasil dilaksanakan di beberapa negara Asia-Afrika adalah metode CLTS (Community-Led Total Sanitation) tanpa subsidi pemerintah sepeserpun. Dengan metode ini pula 2 desa di kecamatan ini, yaitu Desa Puworejo dan Bedayu sudah lebih dahulu mencapai ODF pada tahun 2007.
II. JUDUL RENCANA AKSI:
Gerakan Kecamatan Senduro ODF 2008.
Moto gerakan: MEMANG TIDAK ADA YANG MUDAH, TAPI DENGAN KREATIFITAS SEMUA PASTI BISA
III. TUJUAN RENCANA AKSI:
Mencapai ODF (tidak satu orangpun yang berperilaku BAB sembarangan) di Kecamatan Senduro
IV. PETUGAS (INISIATOR):
1. Kepala Puskesmas Senduro: dr. Arba’i
2. Camat Senduro: Drs Hodiri
3. Fasilitator STBM Kecamatan Senduro: Bagas Catur Rahman, Luqman Afifudin, Sony Wibisono
V. URAIAN MENURUT KRITERIA SMART:
Specific (kegiatan spesifik):
1. Pertemuan konsolidasi tim kecamatan dan desa.
2. Pemetaan perilaku BAB per wilayah posyandu oleh kader Gerbangmas.
3. Pengumpulan data, analisa dan penyusunan strategi dan taktik
4. Menyusun Smart Actiom Plan.
5. Advokasi oleh tim kepada dinas instansi tingkat kecamatan serta Dinkes Kabupaten.
6. Bina suasana kepada seluruh kepala desa, kader kesehatan, toma-toga se Kecamatan Senduro dam masyarakat luas.
7. Pelaksanaan pemicuan CLTS dan gerakan masyarakat.
8. Melaksanakan pemantauan di lapangan oleh tim fasilitator bersama anggota komite masyarakat, dibantu dinas instansi di Kecamatan Senduro
9. Menyelenggarakan deklarasi ODF Kecamatan Senduro.
Measurable (terukur / indikator keberhasilan):
Seratus prosen masyarakat berperilaku BAB di jamban.
Achievable (mengapa dapat dicapai):
1. Sudah ada desa (Desa Purworejo dan Bedayu) yang telah berhasil ODF.
2. Tidak menuntut harus membuat konstruksi jamban tertentu, konstruksi jamban sesuai dengan kemampuan dan kemauan masyarakat.
3. Ada tradisi gotong royong di masyarakat Senduro.
4. Masyarakat punya rasa harga diri, malu, jijik, takut dosa, dan solidaritas kepada sesama yang bisa dipicu.
Relevant (relevansi dengan misi puskesmas):
1. Sesuai dengan fisi pemerintah dalam bidang kesehatan, yaitu ”Menuju Masyarakat mandiri untuk Hidup Sehat”.
2. Sesuai dengan tujuan pemerintah untuk membina dan mendorong penyediaan sarana sanitasi masyarakat.
3. Sesuai dengan misi Gerbangmas, yaitu kampanye Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) serta kesehatan lingkungan.
4. Sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk melaksanakan program Sanitasi Total dan Pemasaran Sanitasi (SToPS).
5. Sesuai dengan prioritas bidang kesehatan Kecamatan Senduro untuk menurunkan angka kesakitan, termasuk dalam hal ini penyakit yang berbasis lingkungan.
Timely (rentang dan ketepatan waktu):
Mulai 1 Maret sampai 7 Juli 2008, disesuaikan dengan pelaksanaan bulan bakti gotong-royong dengan harapan mendapat semangat dan suasana kondusif akibat kampanye berbagai pihak untuk kegotongroyongan.
VI. SUMBER DAYA:
1. Sudah ada tim fasilitator SToPS / CLTS terlatih.
2. Ada Gerbangmas di semua posyandu.
3. Tidak mengharuskan konstruksi jamban tertentu sehingga bisa menggunakan material seadanya.
4. Ada bantuan dana untuk transpor konsultasi dan dana pemicuan dari tim SToP kabupaten (Rp.3,778,200)
5. Ada kegiatan lintas program yang bisa ditumpangi program ini
6. Ada potensi swadaya dan solidaritas / kegotongroyongan masyarakat
VII. KEMUNGKINAN HAMBATAN DAN PENANGGULANGANNYA:
1. Transec walk sulit dilaksanakan karena pemicuan kemungkinan lebih banyak malam hari karenya perlu diganti dengan penayanagan gambar / video setempat bagi yang tidak bisa berkumpul siang hari
2. Partisipasi tidak selalu mudah, karenanya perlu pengikutsertaan masyarakat sepenuhnya sejak awal fasilitasi dan harus diikuti pemantauan oleh komite dan dinas lintas sektor secara berkesinambungan.
3. Fasilitator mungkin akan mengalami masa-masa sulit sebelum nantinya menemukan kiat-kiat taktis sesuai situasi dan kondisi lokal sehingga harus senantiasa mendapat support dari camat dan kepala dinas instansi terkait.
VIII. DAMPAK YANG DIHARAPKAN:
1. Meningkatnya demand masyarakat akan sarana sanitasi.
2. Turunnya angka kesakitan penyakit berbasis lingkungan.
3. Mendorong tercapainya program Gerbangmas bidang PHBS dan penyehatan lingkungan.
4. Mendorong peningkatan strata desa siaga.
5. Terjadi perubahan Mind set masyarakat sehingga tidak hanya tergantung bantuan melainkan mampu berdikari
6. Meningkatnya hubungan kemitraan antara aparatur pemerintahan dengan masyarakat.
IX. JADWAL KEGIATAN:
URAIAN KEGIATAN JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL
Rapat konsolidasi
Pemetaan area & perilaku BAB
Analisa situasi & susun taktik & strategi
Susun action plan
Advokasi
Sosialisasi – bina suasana
Pemicuan CLTS dan gerakan
Pemantauan
Deklarasi kec. ODF
Catatan: Kecamatan Senduro ODF telah tercapai awal Juli 2008 dan dideklarasikan pada tanggal 8 Juli 2008 di Balai Desa Kandangan, dihadiri Bupati Lumajang dan Kepala Subdirektorat Penyehatan Air Depkes RI.
Kami buat action plan ini guna mensubstitusi POA tahunan yang ada.
I.ISSUE / SITUASI YANG MUNGKIN DAPAT DIUBAH:
Sampai dengan akhir 2007 masih ada 735 KK di Kecamatan Senduro Kab. Lumajang yang BAB sembarangan. Berpuluh tahun telah dilakukan upaya-upaya untuk mengubah situasi ini, umumnya dengan subsidi pemerintah. Banyak kemajuan dicapai tetapi tidak pernah bisa ODF (Open Defecation Free). Kebisaan BAB lebih ditentukan oleh perilaku, bukan semata kemampuan membangun jamban. Metode yang telah terbukti berhasil dilaksanakan di beberapa negara Asia-Afrika adalah metode CLTS (Community-Led Total Sanitation) tanpa subsidi pemerintah sepeserpun. Dengan metode ini pula 2 desa di kecamatan ini, yaitu Desa Puworejo dan Bedayu sudah lebih dahulu mencapai ODF pada tahun 2007.
II. JUDUL RENCANA AKSI:
Gerakan Kecamatan Senduro ODF 2008.
Moto gerakan: MEMANG TIDAK ADA YANG MUDAH, TAPI DENGAN KREATIFITAS SEMUA PASTI BISA
III. TUJUAN RENCANA AKSI:
Mencapai ODF (tidak satu orangpun yang berperilaku BAB sembarangan) di Kecamatan Senduro
IV. PETUGAS (INISIATOR):
1. Kepala Puskesmas Senduro: dr. Arba’i
2. Camat Senduro: Drs Hodiri
3. Fasilitator STBM Kecamatan Senduro: Bagas Catur Rahman, Luqman Afifudin, Sony Wibisono
V. URAIAN MENURUT KRITERIA SMART:
Specific (kegiatan spesifik):
1. Pertemuan konsolidasi tim kecamatan dan desa.
2. Pemetaan perilaku BAB per wilayah posyandu oleh kader Gerbangmas.
3. Pengumpulan data, analisa dan penyusunan strategi dan taktik
4. Menyusun Smart Actiom Plan.
5. Advokasi oleh tim kepada dinas instansi tingkat kecamatan serta Dinkes Kabupaten.
6. Bina suasana kepada seluruh kepala desa, kader kesehatan, toma-toga se Kecamatan Senduro dam masyarakat luas.
7. Pelaksanaan pemicuan CLTS dan gerakan masyarakat.
8. Melaksanakan pemantauan di lapangan oleh tim fasilitator bersama anggota komite masyarakat, dibantu dinas instansi di Kecamatan Senduro
9. Menyelenggarakan deklarasi ODF Kecamatan Senduro.
Measurable (terukur / indikator keberhasilan):
Seratus prosen masyarakat berperilaku BAB di jamban.
Achievable (mengapa dapat dicapai):
1. Sudah ada desa (Desa Purworejo dan Bedayu) yang telah berhasil ODF.
2. Tidak menuntut harus membuat konstruksi jamban tertentu, konstruksi jamban sesuai dengan kemampuan dan kemauan masyarakat.
3. Ada tradisi gotong royong di masyarakat Senduro.
4. Masyarakat punya rasa harga diri, malu, jijik, takut dosa, dan solidaritas kepada sesama yang bisa dipicu.
Relevant (relevansi dengan misi puskesmas):
1. Sesuai dengan fisi pemerintah dalam bidang kesehatan, yaitu ”Menuju Masyarakat mandiri untuk Hidup Sehat”.
2. Sesuai dengan tujuan pemerintah untuk membina dan mendorong penyediaan sarana sanitasi masyarakat.
3. Sesuai dengan misi Gerbangmas, yaitu kampanye Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) serta kesehatan lingkungan.
4. Sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk melaksanakan program Sanitasi Total dan Pemasaran Sanitasi (SToPS).
5. Sesuai dengan prioritas bidang kesehatan Kecamatan Senduro untuk menurunkan angka kesakitan, termasuk dalam hal ini penyakit yang berbasis lingkungan.
Timely (rentang dan ketepatan waktu):
Mulai 1 Maret sampai 7 Juli 2008, disesuaikan dengan pelaksanaan bulan bakti gotong-royong dengan harapan mendapat semangat dan suasana kondusif akibat kampanye berbagai pihak untuk kegotongroyongan.
VI. SUMBER DAYA:
1. Sudah ada tim fasilitator SToPS / CLTS terlatih.
2. Ada Gerbangmas di semua posyandu.
3. Tidak mengharuskan konstruksi jamban tertentu sehingga bisa menggunakan material seadanya.
4. Ada bantuan dana untuk transpor konsultasi dan dana pemicuan dari tim SToP kabupaten (Rp.3,778,200)
5. Ada kegiatan lintas program yang bisa ditumpangi program ini
6. Ada potensi swadaya dan solidaritas / kegotongroyongan masyarakat
VII. KEMUNGKINAN HAMBATAN DAN PENANGGULANGANNYA:
1. Transec walk sulit dilaksanakan karena pemicuan kemungkinan lebih banyak malam hari karenya perlu diganti dengan penayanagan gambar / video setempat bagi yang tidak bisa berkumpul siang hari
2. Partisipasi tidak selalu mudah, karenanya perlu pengikutsertaan masyarakat sepenuhnya sejak awal fasilitasi dan harus diikuti pemantauan oleh komite dan dinas lintas sektor secara berkesinambungan.
3. Fasilitator mungkin akan mengalami masa-masa sulit sebelum nantinya menemukan kiat-kiat taktis sesuai situasi dan kondisi lokal sehingga harus senantiasa mendapat support dari camat dan kepala dinas instansi terkait.
VIII. DAMPAK YANG DIHARAPKAN:
1. Meningkatnya demand masyarakat akan sarana sanitasi.
2. Turunnya angka kesakitan penyakit berbasis lingkungan.
3. Mendorong tercapainya program Gerbangmas bidang PHBS dan penyehatan lingkungan.
4. Mendorong peningkatan strata desa siaga.
5. Terjadi perubahan Mind set masyarakat sehingga tidak hanya tergantung bantuan melainkan mampu berdikari
6. Meningkatnya hubungan kemitraan antara aparatur pemerintahan dengan masyarakat.
IX. JADWAL KEGIATAN:
URAIAN KEGIATAN JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL
Rapat konsolidasi
Pemetaan area & perilaku BAB
Analisa situasi & susun taktik & strategi
Susun action plan
Advokasi
Sosialisasi – bina suasana
Pemicuan CLTS dan gerakan
Pemantauan
Deklarasi kec. ODF
Catatan: Kecamatan Senduro ODF telah tercapai awal Juli 2008 dan dideklarasikan pada tanggal 8 Juli 2008 di Balai Desa Kandangan, dihadiri Bupati Lumajang dan Kepala Subdirektorat Penyehatan Air Depkes RI.
Kami buat action plan ini guna mensubstitusi POA tahunan yang ada.
Sabtu, 22 November 2008
Safari Santun Lansia ke Desa Ranupani
Sabtu, 15 Nopember 2008 safari tim santun lansia tiba ke desa yang ke sepuluh dari 12 desa Kecamatan Senduro. Safari yang diikuti dinas lintas sektor ini dimaksudkan untuk memfasilitasi terbentuknya paguyuban para lansia atau lanjut usia dalam karangwerda di semua desa.
Pengorganisasian masyarakat ini memungkinkan pemberdayaan lansia dan keluarga lansia. Di samping itu akan menjadi tempat bertemunya kontribusi lintas sektor dalam peningkatan kesejahteraan lansia sebagai mana amanat UU RI No 13 tahun 1998 dan Perda Jawa Timur No 5 tahun 2007 tentang kesejahteraan lansia. Pembentukan karangwerda itu sendiri merupakan bagian dari serangkaian kegiatan Puskesmas Santun Lansia. Santun lansia yang kami laksanakan tidak sekedar dalam bentuk pelayanan di dalam gedung, tetapi juga kegiatan luar gedung. Puskesmas Senduro akan melayani lansia ke depannya melalui empat pilar santun lansia. Keempat pilar tersebut adalah: 1. Yankes di gedung puskesmas santun lansia, 2. Pusling dan kunjungan rumah, 3. Posyandu lansia di semua dusun, dan 4. Pembinaan karangwerda di semua desa.
Desa kesepuluh yang kami kunjungi tidak lain adalah Desa Ranupani, sebuah desa terpencil nan indah yang berada di kawasan cagar alam Bromo-Tengger-Semeru. Perjalanan dari kota kecamatan ditempuh dalam satu jam dengan kendaraan roda empat (baca ambulan) melewati hutan lindung dengan prasarana jalan beraspal. Ranupani adalah sebuah desa kecil yang terdiri dari dua dusun dan jumlah penduduknya hanya 1154 jiwa. Mayoritas penduduknya adalah suku Jawa Tengger dengan tradisi yang khas layaknya masyarakat sekitar Gunung Bromo . Tepat jam 10.00 BBWI saya dan rombongan tiba di balai desa Ranupani diterima oleh kepala desa dan para stafnya. Hadir di tempat acara 40 warga setempat yang hampir semuanya adalah para lanjut usia atau disingkat lansia.
Setelah sedikit basa-basi acara fasilitasi dimulai. Sambutan sengaja kami persingkat karena kami bermaksud datang sebagai fasilitator, bukan penyuluh. Fasilitator tentunya akan lebih banyak memberi kesempatan kepada masyarakat untuk lebih berpartisipasi, bukan sekedar datang mendengarkan "lomba pidato". Meski mereka pada umumnya kurang berpendidikan formal, ternyata pertemuan berlangsung partisipatif, seru dan sukses. Acara makin hangat ketika kendali pertemuan diserahkan sepenuhnya kepada warga lansia setempat.
Dari kiri adalah saya, Kades Ranupani Thomas, Camat Senduro Susianto dan ketua TP PKK Kecamatan Senduro. Di samping itu ikut hadir juga Kepala KUA, Kasi pemberdayaan kecamatan dan Forum karangwerda kecamatan
Bu Ismail, dari forum karangwerda kecamatan sedang mensosialisasikan karangwerda dan program santun lansia. Meski sudah lansia, beliau menyampaikannya dengan bersemangat sekali.
Fasilitator sedang melakukan bina suasana pertemuan sebelum akhirnya menyerahkan kepemimpinan acara kepada lansia setempat.
Ice breacker game bisa sedikit mencairkan suasana menjadi lebih cair dan semangat.
Promkes puskesmas, Bagas Catur sedang mendampingi seorang tokoh masyarakat bernama Pak Tasrip memimpin musyawarah. Tampak Kepala desa dan Ketua TP PKK hanya tersenyum menyaksikan dari luar arena. Sama juga saya, camat dan lainnya, membiarkan semua berjalan alamiah.
Inilah gambaran dinamika pemilihan ketua karang werda langsung.
Sedang menyusun rencana tindak lanjut
Santai di seputaran Desa Ranupani setelah acara fasilitasi
Di bawah sana adalah jalan menuju lautan pasir Bromo
Mejeng bareng para fasilitator
Bukan markas Tele tubbies lho
Pengorganisasian masyarakat ini memungkinkan pemberdayaan lansia dan keluarga lansia. Di samping itu akan menjadi tempat bertemunya kontribusi lintas sektor dalam peningkatan kesejahteraan lansia sebagai mana amanat UU RI No 13 tahun 1998 dan Perda Jawa Timur No 5 tahun 2007 tentang kesejahteraan lansia. Pembentukan karangwerda itu sendiri merupakan bagian dari serangkaian kegiatan Puskesmas Santun Lansia. Santun lansia yang kami laksanakan tidak sekedar dalam bentuk pelayanan di dalam gedung, tetapi juga kegiatan luar gedung. Puskesmas Senduro akan melayani lansia ke depannya melalui empat pilar santun lansia. Keempat pilar tersebut adalah: 1. Yankes di gedung puskesmas santun lansia, 2. Pusling dan kunjungan rumah, 3. Posyandu lansia di semua dusun, dan 4. Pembinaan karangwerda di semua desa.
Desa kesepuluh yang kami kunjungi tidak lain adalah Desa Ranupani, sebuah desa terpencil nan indah yang berada di kawasan cagar alam Bromo-Tengger-Semeru. Perjalanan dari kota kecamatan ditempuh dalam satu jam dengan kendaraan roda empat (baca ambulan) melewati hutan lindung dengan prasarana jalan beraspal. Ranupani adalah sebuah desa kecil yang terdiri dari dua dusun dan jumlah penduduknya hanya 1154 jiwa. Mayoritas penduduknya adalah suku Jawa Tengger dengan tradisi yang khas layaknya masyarakat sekitar Gunung Bromo . Tepat jam 10.00 BBWI saya dan rombongan tiba di balai desa Ranupani diterima oleh kepala desa dan para stafnya. Hadir di tempat acara 40 warga setempat yang hampir semuanya adalah para lanjut usia atau disingkat lansia.
Setelah sedikit basa-basi acara fasilitasi dimulai. Sambutan sengaja kami persingkat karena kami bermaksud datang sebagai fasilitator, bukan penyuluh. Fasilitator tentunya akan lebih banyak memberi kesempatan kepada masyarakat untuk lebih berpartisipasi, bukan sekedar datang mendengarkan "lomba pidato". Meski mereka pada umumnya kurang berpendidikan formal, ternyata pertemuan berlangsung partisipatif, seru dan sukses. Acara makin hangat ketika kendali pertemuan diserahkan sepenuhnya kepada warga lansia setempat.
Dari kiri adalah saya, Kades Ranupani Thomas, Camat Senduro Susianto dan ketua TP PKK Kecamatan Senduro. Di samping itu ikut hadir juga Kepala KUA, Kasi pemberdayaan kecamatan dan Forum karangwerda kecamatan
Bu Ismail, dari forum karangwerda kecamatan sedang mensosialisasikan karangwerda dan program santun lansia. Meski sudah lansia, beliau menyampaikannya dengan bersemangat sekali.
Fasilitator sedang melakukan bina suasana pertemuan sebelum akhirnya menyerahkan kepemimpinan acara kepada lansia setempat.
Ice breacker game bisa sedikit mencairkan suasana menjadi lebih cair dan semangat.
Promkes puskesmas, Bagas Catur sedang mendampingi seorang tokoh masyarakat bernama Pak Tasrip memimpin musyawarah. Tampak Kepala desa dan Ketua TP PKK hanya tersenyum menyaksikan dari luar arena. Sama juga saya, camat dan lainnya, membiarkan semua berjalan alamiah.
Inilah gambaran dinamika pemilihan ketua karang werda langsung.
Sedang menyusun rencana tindak lanjut
Santai di seputaran Desa Ranupani setelah acara fasilitasi
Di bawah sana adalah jalan menuju lautan pasir Bromo
Mejeng bareng para fasilitator
Bukan markas Tele tubbies lho
Label:
karangwerda,
pemberdayaan,
ranupani,
santun lansia
Rabu, 19 November 2008
Desa Siaga Purworejo Menerima Kunjungan Studi Banding Dinkes Propinsi Kalbar
Desa Siaga Sayang Bunda Desa Purworejo 19 Nopember 2008 menerima tamu studi banding dari Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Barat. Tamu diterima di Posyandu Gerbangmas Kartini yang sekaligus sebagai sekretariat forum desa siaga.
Rombongan tamu berjumlah sebelas orang dipimpin Bapak Isman yang sekaligus Kepala Bidang P2PL Dinkes Propinsi Kalimantan Barat.
Ny.Suhentini menyampaikan paparan tentang Desa Siaga dan kegiatan Gerbangmas di Desa Purworejo Kecamatan Senduro
Ketua rombongan menyerahkan cindera mata kepada Bapak Adim, Kepala Desa Purworejo.
Para kader desa siaga dan Gerbangmas hadir lengkap dan foto bersama dengan tamu dan tim dari Puskesmas Senduro
Rombongan tamu berjumlah sebelas orang dipimpin Bapak Isman yang sekaligus Kepala Bidang P2PL Dinkes Propinsi Kalimantan Barat.
Ny.Suhentini menyampaikan paparan tentang Desa Siaga dan kegiatan Gerbangmas di Desa Purworejo Kecamatan Senduro
Ketua rombongan menyerahkan cindera mata kepada Bapak Adim, Kepala Desa Purworejo.
Para kader desa siaga dan Gerbangmas hadir lengkap dan foto bersama dengan tamu dan tim dari Puskesmas Senduro
Label:
desa siaga,
gerbangmas,
lumajang,
posyandu,
Purworejo,
senduro
Senin, 17 November 2008
Pedoman Pemicuan Masyarakat ala CLTS untuk PSN-DBD
Inilah pedoman pemicuan ala CLTS untuk gerakan siaga DBD Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang. Dengan harapan menjadi sebuah pedoman pemberdayaan masyarakat yang sederhana bagi para fasilitator. Pedoman dibuat tidak sampai pada detil kegiatan dengan maksud agar dapat mengakomodasi dan merangsang inovasi di lapangan.
KEGIATAN SEBELUM PEMICUAN:
1.Pendataan oleh petugas pembina desa (kasus DBD, hasil pemeriksaan jentik, PSN yang sudah dilaksanakan, keterlibatan masyarakat, geografi, demografi, budaya/tradisi, kelompok potensial, tokoh-tokoh kunci di masyarakat, dll).
2.Advokasi terhadap stakeholder pemerintah maupun non pemerintah (kades, bu kades, ketua RT/RW, toma, toga, LSM, pengusaha setempat, forum desa siaga, dll)
3.Bina suasana (kampanye penanggulangan DBD di posyandu atau kelompok potensial atau cara lainnya).
KEGIATAN SAAT PEMICUAN:
1.Bina suasana pertemuan (perkenalan, penyampaian tujuan kegiatan, hubungan sejajar, tidak menggurui, tidak memerintah)
2.Transec walk (bersama semua yang hadir mengunjungi penderita DBD atau pernah DBD, dan pemeriksaan jentik)
3.Pemetaan (peta penderita, rumah positif jentik), pemetaan dapat dilakukan di tanah halaman rumah warga atau pada kertas sesuai keadaan.
4.Analisa partisipatif melalui diskusi kelompok (bahayanya DBD, penyebab, bisakah dicegah, siapa yang bertanggunmg jawab untuk PSN, satu rumah saja positif jentik apakah membahayakan orang lain termasuk yang rumahmnya bersih, apa yang sudah dilakukan masyarakat, perlukah kebersamaan untuk mengatasinya, dll)
5.Pemicuan (memicu sehingga mereka/masyarakat mau dan berjanji mengambil tanggungjawab penuh dalam pemeriksaan jentik berkala dan PSN)
6.Membuat kesepakatan-kesepakatan (siapa pemeriksa jentiknya, penandaan rumah, sanksi bagi yang berturut-turut rumahnya ada jentik, pendanaan kegiatan, dan lain-lain)
7.Menyusun rencana kegiatan (jadwal pemeriksaan jentik dan PSN dengan 3M plus, rencana pertemuan bulanan di tingkat dusun/wilayah posyandu untuk monev).
8.Membentuk komite masyarakat (minimal masyarakat menunjuk seorang penanggungjawab kegiatan yang nantinya menjadi bagian organisasi desa siaga).
9.Kesepakatan siapa yang berwenang menjadi pengawas kegiatan, bisa ketua komite atau tokoh lain yang mereka segani.
KEGIATAN PASCA PEMICUAN:
1.Pemantauan oleh masyarakat sendiri sesuai kesepakatan.
2.Pemantauan oleh petugas kesehatan sesuai program.
CATATAN:
1.Pemeriksa jentik di tiap RT sebaiknya dari unsur masyarakat non kader posyandu, sedang kader posyandu memfasilitasi, merekapitulasi hasil dan membantu memantau pelaksanaan pemeriksaan jentik dan 3M-Plus.
2.Pemicuan tidak mesti berurutan seperti di atas, yang penting masyarakat terpicu dan bisa membuat rencana tindak lanjut berdasar kesepakatan mereka sendiri.
3.Semua kegiatan dilaksanakan secara partisipatory.
4.Masyarakat boleh menamai kegiatannya itu menurut selera setempat, misalnya "Siaga DBD" untuk gerakannya dan "pasukan uge-uget" untuk juru pemantau jentiknya.
KEGIATAN SEBELUM PEMICUAN:
1.Pendataan oleh petugas pembina desa (kasus DBD, hasil pemeriksaan jentik, PSN yang sudah dilaksanakan, keterlibatan masyarakat, geografi, demografi, budaya/tradisi, kelompok potensial, tokoh-tokoh kunci di masyarakat, dll).
2.Advokasi terhadap stakeholder pemerintah maupun non pemerintah (kades, bu kades, ketua RT/RW, toma, toga, LSM, pengusaha setempat, forum desa siaga, dll)
3.Bina suasana (kampanye penanggulangan DBD di posyandu atau kelompok potensial atau cara lainnya).
KEGIATAN SAAT PEMICUAN:
1.Bina suasana pertemuan (perkenalan, penyampaian tujuan kegiatan, hubungan sejajar, tidak menggurui, tidak memerintah)
2.Transec walk (bersama semua yang hadir mengunjungi penderita DBD atau pernah DBD, dan pemeriksaan jentik)
3.Pemetaan (peta penderita, rumah positif jentik), pemetaan dapat dilakukan di tanah halaman rumah warga atau pada kertas sesuai keadaan.
4.Analisa partisipatif melalui diskusi kelompok (bahayanya DBD, penyebab, bisakah dicegah, siapa yang bertanggunmg jawab untuk PSN, satu rumah saja positif jentik apakah membahayakan orang lain termasuk yang rumahmnya bersih, apa yang sudah dilakukan masyarakat, perlukah kebersamaan untuk mengatasinya, dll)
5.Pemicuan (memicu sehingga mereka/masyarakat mau dan berjanji mengambil tanggungjawab penuh dalam pemeriksaan jentik berkala dan PSN)
6.Membuat kesepakatan-kesepakatan (siapa pemeriksa jentiknya, penandaan rumah, sanksi bagi yang berturut-turut rumahnya ada jentik, pendanaan kegiatan, dan lain-lain)
7.Menyusun rencana kegiatan (jadwal pemeriksaan jentik dan PSN dengan 3M plus, rencana pertemuan bulanan di tingkat dusun/wilayah posyandu untuk monev).
8.Membentuk komite masyarakat (minimal masyarakat menunjuk seorang penanggungjawab kegiatan yang nantinya menjadi bagian organisasi desa siaga).
9.Kesepakatan siapa yang berwenang menjadi pengawas kegiatan, bisa ketua komite atau tokoh lain yang mereka segani.
KEGIATAN PASCA PEMICUAN:
1.Pemantauan oleh masyarakat sendiri sesuai kesepakatan.
2.Pemantauan oleh petugas kesehatan sesuai program.
CATATAN:
1.Pemeriksa jentik di tiap RT sebaiknya dari unsur masyarakat non kader posyandu, sedang kader posyandu memfasilitasi, merekapitulasi hasil dan membantu memantau pelaksanaan pemeriksaan jentik dan 3M-Plus.
2.Pemicuan tidak mesti berurutan seperti di atas, yang penting masyarakat terpicu dan bisa membuat rencana tindak lanjut berdasar kesepakatan mereka sendiri.
3.Semua kegiatan dilaksanakan secara partisipatory.
4.Masyarakat boleh menamai kegiatannya itu menurut selera setempat, misalnya "Siaga DBD" untuk gerakannya dan "pasukan uge-uget" untuk juru pemantau jentiknya.
Label:
CLTS,
DBD,
komite masyarakat,
lumajang,
pemberdayaan masyarakat,
senduro
Jumat, 14 November 2008
Bila Bina Suasana Baik maka Partisipasi Masyarakat Akan Lebih Mudah
Bina suasana yang baik sangat berguna untuk petugas puskesmas dalam membina partisipasi masyarakat melalui UKBM (Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat), termasuk CLTS dan program pemberdayaan lainnya.
Melaksanakan program UKBM gampang-gampang susah. Kalau partisipasi masyarakatnya baik maka semua pekerjaan jadi mudah. Bahkan UKBM-UKBM akan menjadi semacam saluran pemasaran bagi program kesehatan yang kita tawarkan. Tetapi bila situasi yang terjadi sebaliknya, dimana partisipasi masyarakat rendah maka semuanya harus kita lakukan sendiri. Bukan saja program kesehatan tidak terbantu, tetapi UKBM-nya itu sendiri akan menjadi beban tersendiri bagi petugas lapangan untuk menghidupinya.
Saya tertarik menulis posting ini karena semua orang kesehatan pada umumnya sepakat bahwa paritisipasi masyarakat adalah kunci keberhasilan UKM (upaya kesehatan masyarakat) di puskesmas. Tetapi justru partisipasi inilah yang paling sering saya dengar dikeluhkan sulit oleh orang puskesmas. Banyak diantara tamu dari berbagai daerah yang pernah studi banding di tempat saya juga mengeluhkan hal yang sama. Beberapa alasan dikemukakan, mulai dari tingkat ekonomi rendah, pendidikan rendah, geografi luas dan terpencil, transportasi sulit, jumlah penduduk yang terlalu banyak bahkan menyebut etnis tertentu sebagai etnis yang memang tidak bisa diajak berubah.
Mungkin sederet alasan yang dikemukakan tersebut ada benarnya. Tetapi anehnya kondisi kebalikannya sering saya dengar juga menjadi alasan pembenar mengapa partisipasi masyarakat tidak seperti yang diharapkan. Ternyata beberapa orang mengeluhkan bahwa mereka sulit menarik partisipasi karena masyarakatnya adalah orang-orang elit yang kaya sehingga sulit diajak kerja sama, pinter-pinter sehingga sulit diberi tahu, desanya sudah maju sehingga sulit diajak gotong royong untuk misalnya membentuk desa siaga. Jadi aneh karena kondisi dan situasi apapun menjadi (baca: dianggap) hambatan. Dan yang disalahkan selalu masyarakat. Kondisi masyarakatlah yang dianggap menyebabkan program yang berbasis masyarakat tidak berhasil. Pertanyaannya adalah: Apakah sudah dicoba menggarap satu dusun saja bila desanya luas, menggarap satu komunitas kecil saja dulu bila penduduknya sangat banyak, biarkan mereka yang bicara dan bukan kita yang pidato kalau masyarakatnya pinter-pinter. Kalau suatu entis tertentu sulit difasilitasi lalu mengapa di tempat lain berhasil menggarap etnis yang sama?
Akan lebih baik bila penyebab kegagalan menggerakkan masyarakat lebih diarahkan ke diri petugas sendiri. Masyarakat mana saja ada kecenderungan tidak mau repot, tidak mau ruwet, tapi mau enak. Makanya perlu ada petugas yang harus melayani dan memfasilitasi mereka. Di tempat yang sekarang partisipasi masyarakatnya baik sebenarnya juga pernah memiliki masa-masa sulit di awalnya. Kemudahan tidak tiba-tiba datang dari langit dan semua orang menurut saja pada petugas. Sama saja, di tempat manapun perlu proses untuk mencapai keadaan seperti yang diinginkan. Kalau kita datang ke orang lain hanya saat butuh saja dan setelah itu tidak acuh lagi, tentunya sulit berharap terlalu banyak partisipasi dari orang tersebut.
Suatu ketika pernah saya melihat pemicuan CLTS oleh fasilitator desa yang didampingi fasilitator kecamatan di sebuah dusun Desa Wonocempokoayu Kecamatan Senduro. Masyarakat yang hadir ada sekitar 80-an orang yang terdiri laki-laki, perempuan, tua, muda dan bahkan anak-anak dari berbagai lapisan di dusun tersebut. Semua proses tampak sangat lancar dan sukses, diskusi berlangsung partisipatif, banyak yang mengajukan usul, bahkan kadang berdebat seru di antara mereka. Fasilitator sesekali mengeluarkan ice breaker game andalannya, mereka tampak bersemangat, gembira bahkan ada yel-yel dan nyanyian tentang CLTS segala. Kemudian acara ditutup dengan sederet kesepakatan membuat dan menggunakan jamban.
Satu bulan kemudian saya mendapat laporan ternyata masyarakat tersebut di atas tetap tidak berubah, belum membuat jamban dan masih BAB di tegalan, dibalik semak-semak belakang rumah atau kotorannya dilempar saja ke curah/jurang dekat rumah. Hanya sedikit sekali yang memenuhi janji sebagaimana yang disepakati ketika pemicuan. Jadi? Mereka datang sekedar memenuhi undangan kepala dusun setempat yang mereka segani. Mereka tertawa-tawa saat pemicuan karena fasilitatornya memang lucu. Mereka bernyanyi-nyanyi karena ingin mengimbangi fasilitator yang gemar bernyanyi, apa lagi lagunya kocak juga. Mereka terpaksa berjanji membuat jamban hanya karena tidak sanggup berkata tidak saat ditanya kesediaan oleh fasilitator kecamatan yang jauh-jauh telah sudi datang ke dusunnya. Lho?
Jadi para fasilitator sesungguhnya tidak tahu apa yang ada di benak masyarakat di balik apa yang terlihat kasat mata saat itu, kata orang Jawa kecele. Orang-orang yang datang tetap pada pendiriannya yang semula. Masyarakat masih tetap yakin akan pendirian dan tradisi BAB-nya. Apanya yang salah, kenapa orang lain yang usil, toh dari dulu tidak apa-apa. Kira-kira begitulah yang ada di benak sebagian besar orang yang menghadiri pemicuan kala itu. Kalau begitu mana mungkin fasilitator dapat "menguasainya". Mereka hanya melakukan bina suasana untuk kelancaran pertemuan saja. Bukan bina suasana yang merupakan strategi memenangkan opini.
Pengertian bina suasana mungkin berbeda-beda, tapi yang saya maksudkan di sini adalah serangkaian ucapan, bahasa tubuh, sikap dan tindakan yang kita lakukan yang ditujukan agar berpengaruh positif terhadap opini dan sikap individu, keluarga dan masyarakat terhadap diri kita dan program yang sedang kita tawarkan. Dari definisi ini sekarang bisa dimengerti mengapa ada petugas tertentu mudah berpromosi kepada masyarakat sedang yang lain susahnya bukan main. Keberhasilannya tidak hanya tergantung bina suasana sesaat tapi dipengaruhi bina suasana jangka panjang yang pernah kita lakukan. Bina suasana yang baik dan mengena akan memberi kontribusi besar terhadap promosi program yang kita tawarkan.
Sekarang sudah jaman demokrasi, tidak mudah petugas mendikte apalagi memaksa masyarakat mengikutinya. Pada umumnya orang hanya akan melakukan apa yang mereka sukai dan yang mereka pikir menguntungkan. Mudah dipahami bahwa esensi bina suasana sebenarnya berada pada area perang opini. Dan kita hanya bisa menang kalau kita tahu apa yang ada di benak mereka. Itu hanya bisa dicapai kalau benar-nenar mengenali masyarakat dengan segala aspeknya secara cermat dan menguasai medannya. Menang berarti masyarakat telah berpikir atau berpendapat sebagaimana arah opini atau pendapat yang kita bangun. Ingat bukan, orang hanya akan melakukan apa yang menurut benak mereka baik atau menguntungkan.
Tapi jangan salah, perang opini yang saya maksud bukan untuk menang-menangan. Bagaimanapun kita tetap harus responsive terhadap aspirasi yang bergulir. Yang kita lakukan adalah pemberdayaan masyarakat. Yang kita tuju adalah kemandirian masyarakat. Kita memfasilitasi mereka untuk memahami masalah mereka sendiri, mencari dan menjalankan pemecahannya dan untuk kehidupan mereka sendiri. Perang opini dalam pemberdayaan tidak identik dengan mendominasi keinginan masyarakat.
Sebelum menetapkan cara dan media bina suasana, pertimbangkan dulu kemana opini masyarakat akan kita giring. Kalau sudah maka kita bisa memutuskaan pesan apa yang akan kita buat. Mungkin perlu juga menyusunnya dalam betuk slogan atau yel-yel atau nyanyian. Dan kemudian kita pilih saluran komunikasi mana yang akan kita pakai. Asal pidato saja, atau asal buat spanduk, atau asal buat brosur saja, tidak termasuk ke dalam pengertian bina suasana. Banyak cara dan saluran yang bisa dipilih untuk bina suasana, misalnya rapat sosialisasi, menyebarkan pesan melalui saluran komunikasi berupa brosur, spanduk, radio, dan lain-lain. Bisa saja dengan merekrut tokoh masyarakat atau tokoh agama menjadi model atau semacam duta untuk menjadi teladan. Apapun bisa dilakukan, yang penting sudah melalui analisa yang mendalam sehingga sesuai dengan situasi setempat. Adapun masalah taktik pelaksanaan di lapangan tentunya tidak perlu kaku. Biarkan petugas berkreasi guna menyesuaikan dengan situasi dan kondisi lokal.
Salah satu bagian tidak terpisahkan dalam bina suasana adalah citra diri petugas. Yaitu bagaimana kita menilai diri kita sebagaimana orang lain menilai. Citra diri bisa dikembangkan dan tentu akan berpengaruh positif terhadap personal branding. Selanjutnya Image dan merek diri amat berpengaruh pada penerimaan masyarakat terhadap apa saja yang kita bawa untuk mereka. Jadi mereka mau atau tidak sangat tergantung kita juga. Jangan mengajak orang jadi donatur bila kita dikenal tidak terbuka masalah uang. Jangan mengajak orang lain berperilaku hidup sehat kalau kita suka merokok di tempat umum. Jangan mengajak orang optimis pada suatu hal kalau kita selalu gagal akan hal itu. Dan jangan… jangan … dan seterusnya.
Bagaimana bila anda kurang percaya diri terhadap personal branding anda? Tidak usah berkecil hati. Sambil tetap mengembangkan citra diri anda bisa melakukan bina suasana dengan membuat networking. Jadi anda tidak sendiri melakukannya, melainkan dengan anggota jaringan. Membuat jaringan bina suasana sangat penting dalam pemberdayaan masyarakat. Network pemasaran barang sudah lama kita kenal, termasuk juga multi level marketing. Bahkan preman saja bisa bekerja memanfaatkan jaringan, masak kita tidak bisa? Untuk membuat jaringan bina suasana yang kita butuhkan adalah kemampuan advokasi yang nantinya akan saya posting tersendiri.
Mungkin secara teori apa yang saya kemukakan kurang bermutu, maka saya butuh koreksi para pembaca. Posting ini dibuat hanya dengan berbekal sedikit teori tapi sudah melalui trial and error yang pernah saya alami sebagai Kepala Puskesmas Senduro dan sebelumnya Puskesmas Gucialit Kabupaten Lumajang Jawa Timur. Mungkin Anda punya pendapat lain maka saya juga akan belajar dari Anda, silakan tinggalkan komentar.
Melaksanakan program UKBM gampang-gampang susah. Kalau partisipasi masyarakatnya baik maka semua pekerjaan jadi mudah. Bahkan UKBM-UKBM akan menjadi semacam saluran pemasaran bagi program kesehatan yang kita tawarkan. Tetapi bila situasi yang terjadi sebaliknya, dimana partisipasi masyarakat rendah maka semuanya harus kita lakukan sendiri. Bukan saja program kesehatan tidak terbantu, tetapi UKBM-nya itu sendiri akan menjadi beban tersendiri bagi petugas lapangan untuk menghidupinya.
Saya tertarik menulis posting ini karena semua orang kesehatan pada umumnya sepakat bahwa paritisipasi masyarakat adalah kunci keberhasilan UKM (upaya kesehatan masyarakat) di puskesmas. Tetapi justru partisipasi inilah yang paling sering saya dengar dikeluhkan sulit oleh orang puskesmas. Banyak diantara tamu dari berbagai daerah yang pernah studi banding di tempat saya juga mengeluhkan hal yang sama. Beberapa alasan dikemukakan, mulai dari tingkat ekonomi rendah, pendidikan rendah, geografi luas dan terpencil, transportasi sulit, jumlah penduduk yang terlalu banyak bahkan menyebut etnis tertentu sebagai etnis yang memang tidak bisa diajak berubah.
Mungkin sederet alasan yang dikemukakan tersebut ada benarnya. Tetapi anehnya kondisi kebalikannya sering saya dengar juga menjadi alasan pembenar mengapa partisipasi masyarakat tidak seperti yang diharapkan. Ternyata beberapa orang mengeluhkan bahwa mereka sulit menarik partisipasi karena masyarakatnya adalah orang-orang elit yang kaya sehingga sulit diajak kerja sama, pinter-pinter sehingga sulit diberi tahu, desanya sudah maju sehingga sulit diajak gotong royong untuk misalnya membentuk desa siaga. Jadi aneh karena kondisi dan situasi apapun menjadi (baca: dianggap) hambatan. Dan yang disalahkan selalu masyarakat. Kondisi masyarakatlah yang dianggap menyebabkan program yang berbasis masyarakat tidak berhasil. Pertanyaannya adalah: Apakah sudah dicoba menggarap satu dusun saja bila desanya luas, menggarap satu komunitas kecil saja dulu bila penduduknya sangat banyak, biarkan mereka yang bicara dan bukan kita yang pidato kalau masyarakatnya pinter-pinter. Kalau suatu entis tertentu sulit difasilitasi lalu mengapa di tempat lain berhasil menggarap etnis yang sama?
Akan lebih baik bila penyebab kegagalan menggerakkan masyarakat lebih diarahkan ke diri petugas sendiri. Masyarakat mana saja ada kecenderungan tidak mau repot, tidak mau ruwet, tapi mau enak. Makanya perlu ada petugas yang harus melayani dan memfasilitasi mereka. Di tempat yang sekarang partisipasi masyarakatnya baik sebenarnya juga pernah memiliki masa-masa sulit di awalnya. Kemudahan tidak tiba-tiba datang dari langit dan semua orang menurut saja pada petugas. Sama saja, di tempat manapun perlu proses untuk mencapai keadaan seperti yang diinginkan. Kalau kita datang ke orang lain hanya saat butuh saja dan setelah itu tidak acuh lagi, tentunya sulit berharap terlalu banyak partisipasi dari orang tersebut.
Suatu ketika pernah saya melihat pemicuan CLTS oleh fasilitator desa yang didampingi fasilitator kecamatan di sebuah dusun Desa Wonocempokoayu Kecamatan Senduro. Masyarakat yang hadir ada sekitar 80-an orang yang terdiri laki-laki, perempuan, tua, muda dan bahkan anak-anak dari berbagai lapisan di dusun tersebut. Semua proses tampak sangat lancar dan sukses, diskusi berlangsung partisipatif, banyak yang mengajukan usul, bahkan kadang berdebat seru di antara mereka. Fasilitator sesekali mengeluarkan ice breaker game andalannya, mereka tampak bersemangat, gembira bahkan ada yel-yel dan nyanyian tentang CLTS segala. Kemudian acara ditutup dengan sederet kesepakatan membuat dan menggunakan jamban.
Satu bulan kemudian saya mendapat laporan ternyata masyarakat tersebut di atas tetap tidak berubah, belum membuat jamban dan masih BAB di tegalan, dibalik semak-semak belakang rumah atau kotorannya dilempar saja ke curah/jurang dekat rumah. Hanya sedikit sekali yang memenuhi janji sebagaimana yang disepakati ketika pemicuan. Jadi? Mereka datang sekedar memenuhi undangan kepala dusun setempat yang mereka segani. Mereka tertawa-tawa saat pemicuan karena fasilitatornya memang lucu. Mereka bernyanyi-nyanyi karena ingin mengimbangi fasilitator yang gemar bernyanyi, apa lagi lagunya kocak juga. Mereka terpaksa berjanji membuat jamban hanya karena tidak sanggup berkata tidak saat ditanya kesediaan oleh fasilitator kecamatan yang jauh-jauh telah sudi datang ke dusunnya. Lho?
Jadi para fasilitator sesungguhnya tidak tahu apa yang ada di benak masyarakat di balik apa yang terlihat kasat mata saat itu, kata orang Jawa kecele. Orang-orang yang datang tetap pada pendiriannya yang semula. Masyarakat masih tetap yakin akan pendirian dan tradisi BAB-nya. Apanya yang salah, kenapa orang lain yang usil, toh dari dulu tidak apa-apa. Kira-kira begitulah yang ada di benak sebagian besar orang yang menghadiri pemicuan kala itu. Kalau begitu mana mungkin fasilitator dapat "menguasainya". Mereka hanya melakukan bina suasana untuk kelancaran pertemuan saja. Bukan bina suasana yang merupakan strategi memenangkan opini.
Pengertian bina suasana mungkin berbeda-beda, tapi yang saya maksudkan di sini adalah serangkaian ucapan, bahasa tubuh, sikap dan tindakan yang kita lakukan yang ditujukan agar berpengaruh positif terhadap opini dan sikap individu, keluarga dan masyarakat terhadap diri kita dan program yang sedang kita tawarkan. Dari definisi ini sekarang bisa dimengerti mengapa ada petugas tertentu mudah berpromosi kepada masyarakat sedang yang lain susahnya bukan main. Keberhasilannya tidak hanya tergantung bina suasana sesaat tapi dipengaruhi bina suasana jangka panjang yang pernah kita lakukan. Bina suasana yang baik dan mengena akan memberi kontribusi besar terhadap promosi program yang kita tawarkan.
Sekarang sudah jaman demokrasi, tidak mudah petugas mendikte apalagi memaksa masyarakat mengikutinya. Pada umumnya orang hanya akan melakukan apa yang mereka sukai dan yang mereka pikir menguntungkan. Mudah dipahami bahwa esensi bina suasana sebenarnya berada pada area perang opini. Dan kita hanya bisa menang kalau kita tahu apa yang ada di benak mereka. Itu hanya bisa dicapai kalau benar-nenar mengenali masyarakat dengan segala aspeknya secara cermat dan menguasai medannya. Menang berarti masyarakat telah berpikir atau berpendapat sebagaimana arah opini atau pendapat yang kita bangun. Ingat bukan, orang hanya akan melakukan apa yang menurut benak mereka baik atau menguntungkan.
Tapi jangan salah, perang opini yang saya maksud bukan untuk menang-menangan. Bagaimanapun kita tetap harus responsive terhadap aspirasi yang bergulir. Yang kita lakukan adalah pemberdayaan masyarakat. Yang kita tuju adalah kemandirian masyarakat. Kita memfasilitasi mereka untuk memahami masalah mereka sendiri, mencari dan menjalankan pemecahannya dan untuk kehidupan mereka sendiri. Perang opini dalam pemberdayaan tidak identik dengan mendominasi keinginan masyarakat.
Sebelum menetapkan cara dan media bina suasana, pertimbangkan dulu kemana opini masyarakat akan kita giring. Kalau sudah maka kita bisa memutuskaan pesan apa yang akan kita buat. Mungkin perlu juga menyusunnya dalam betuk slogan atau yel-yel atau nyanyian. Dan kemudian kita pilih saluran komunikasi mana yang akan kita pakai. Asal pidato saja, atau asal buat spanduk, atau asal buat brosur saja, tidak termasuk ke dalam pengertian bina suasana. Banyak cara dan saluran yang bisa dipilih untuk bina suasana, misalnya rapat sosialisasi, menyebarkan pesan melalui saluran komunikasi berupa brosur, spanduk, radio, dan lain-lain. Bisa saja dengan merekrut tokoh masyarakat atau tokoh agama menjadi model atau semacam duta untuk menjadi teladan. Apapun bisa dilakukan, yang penting sudah melalui analisa yang mendalam sehingga sesuai dengan situasi setempat. Adapun masalah taktik pelaksanaan di lapangan tentunya tidak perlu kaku. Biarkan petugas berkreasi guna menyesuaikan dengan situasi dan kondisi lokal.
Salah satu bagian tidak terpisahkan dalam bina suasana adalah citra diri petugas. Yaitu bagaimana kita menilai diri kita sebagaimana orang lain menilai. Citra diri bisa dikembangkan dan tentu akan berpengaruh positif terhadap personal branding. Selanjutnya Image dan merek diri amat berpengaruh pada penerimaan masyarakat terhadap apa saja yang kita bawa untuk mereka. Jadi mereka mau atau tidak sangat tergantung kita juga. Jangan mengajak orang jadi donatur bila kita dikenal tidak terbuka masalah uang. Jangan mengajak orang lain berperilaku hidup sehat kalau kita suka merokok di tempat umum. Jangan mengajak orang optimis pada suatu hal kalau kita selalu gagal akan hal itu. Dan jangan… jangan … dan seterusnya.
Bagaimana bila anda kurang percaya diri terhadap personal branding anda? Tidak usah berkecil hati. Sambil tetap mengembangkan citra diri anda bisa melakukan bina suasana dengan membuat networking. Jadi anda tidak sendiri melakukannya, melainkan dengan anggota jaringan. Membuat jaringan bina suasana sangat penting dalam pemberdayaan masyarakat. Network pemasaran barang sudah lama kita kenal, termasuk juga multi level marketing. Bahkan preman saja bisa bekerja memanfaatkan jaringan, masak kita tidak bisa? Untuk membuat jaringan bina suasana yang kita butuhkan adalah kemampuan advokasi yang nantinya akan saya posting tersendiri.
Mungkin secara teori apa yang saya kemukakan kurang bermutu, maka saya butuh koreksi para pembaca. Posting ini dibuat hanya dengan berbekal sedikit teori tapi sudah melalui trial and error yang pernah saya alami sebagai Kepala Puskesmas Senduro dan sebelumnya Puskesmas Gucialit Kabupaten Lumajang Jawa Timur. Mungkin Anda punya pendapat lain maka saya juga akan belajar dari Anda, silakan tinggalkan komentar.
Label:
bina suasana,
CLTS,
partisipasi,
puskesmas,
UKBM
Kamis, 13 November 2008
Dari CLTS Jamban ke Pemicuan Penanggulangan DBD
CLTS (Community-Led Total Sanitation) untuk stop BAB sembarangan sudah biasa kita dengar. Kini telah kami coba menerapkan metode CLTS itu untuk memicu partisipasi masyarakat menanggulangi DBD (terutama PSN dengan 3M-plus). Ternyata PSN melalui pemicuan ala CLTS ini partisipasinya memang luar biasa.
Metode pemberdayaan masyarakat yang dikenal dengan CLTS sudah terbukti sangat efektif. Dengan metode ini masyarakat se-Kecamatan Senduro yang terdiri dari 12 desa telah merdeka dari perilaku buang air besar sembarangan. Tidak hanya itu, tahun lalu Kecamatan Gucialit yang letaknya bersebelahan dengan Senduro telah lebih dahulu merdeka dari perilaku buang air besar tidak sehat juga dengan metode yang sama.
Sesuatu yang khas pada CLTS ialah kegiatan pemicuan terhadap masyarakat. Bila dilaksanakan dengan baik ternyata pemicuan tersebut mampu mengangkat kesadaran masyarakat untuk mengambil tanggung jawab penuh dalam hal sanitasi total. Upaya subsidi penuh oleh pemerintah, stimulan pembuatan jamban, serta penyuluhan konvensional sudah biasa dilakukan. Tetapi puluhan tahun upaya tersebut ternyata belum mampu memerdekakan masyarakat dari buang air besar sembarangan. Ternyata dengan CLTS, perubahan bisa tercapai lebih cepat. Tidak perlu menunggu berpuluh tahun, cukup beberapa minggu perdusun sudah 100% BAB di jamban.
Karena itulah maka kami terinspirasi melakukan metode yang sama untuk kegiatan penanggulangan DBD. Kegiatan PSN tidak lagi berdasar instruksi dari atas tetapi benar-benar buttom up. Selama ini PSN lebih banyak dikomando oleh pemerintah atau sektor terkait melalui gerakan yang bersifat top down. Dan ternyata kasus DBD tidak berkurang, malah ada kecenderungan dari tahun ke tahun meningkat. Di jaman di mana masyarakat sudah tidak takut pada penguasa tentunya lebih sulit untuk memastikan masyarakat selalu menuruti instruksi dari atas yang dalam hal ini antara lain instruksi melaksanakan PSN. Karenanya, hanya kesadaran masyarakatlah kunci keberhasilan PSN. PSN serentak tidak mungkin terlaksana berkelanjutan sepanjang tahun kecuali atas prakarsa dari masyarakat sendiri. Dan kita semua tahu kalau sifat serentak dan berkelanjutan sepanjang tahun dalam PSN adalah kunci keberhasilan penggulangan DBD. Itulah mengapa harus buttom up.
Kami percaya bahwa masyarakat desa bisa mengerti dan memahami keadaan dan kebutuhan mereka sendiri. Bahkan mungkin lebih mengerti dari pada petugas kita. Biarkan warga bermusyawarah merencanakannya sendiri, melaksanakan dan menilainya sendiri tentang berbagai upaya yang dianggap perlu. Mereka pasti bisa karena mereka pasti memiliki kapabilitas dan solidaritas untuk itu. Dengan begitu, petugas kesehatan dan dinas lintas sektor tinggal berperan sebagai fasilitator saja.
Program penanggulangan DBD dengan metode pemicuan ala CLTS di Kecamatan Senduro telah dimulai oleh masyarakat tiga dusun endemis DBD di Desa Purworejo, Sarikemuning dan Senduro. Dengan dukungan penuh Muspika dan pemerintah desa kami melakukan pemicuan di ketiga dusun tersebut. Kegiatan dimulai dengan melakukan survey lapangan bersama masyarakat terhadap jentik dan penderita atau mantan penderita DBD kemudian membuat pemetaan bersama. Dengan curah pendapat masyarakat diajak menganalisa bersama mengenai penyebab penyakit, cara penularan, akibat penyakit sampai dampak ekonomi yang ditimbulkan. Juga penting mengajak masyarakat memikirkan bahwa keberadaan jentik di satu rumah tidak hanya membahayakan isi rumah itu saja, tetapi juga membahayakan para tetangganya. Dari situlah pemicuan dimulai. Dengan begitu diharapkan muncul kesadaran bersama bahwa penanggulangan DBD harus dilaksanakan oleh masyarakat secara bersama-sama. Dan mereka sendirilah yang harus memulai dan merencanakan semuanya.
Pemicuan tersebut di atas mirip dengan yang biasa kita lakukan dalam CLTS, yaitu transct walk, pemetaan, analisa partisipatif, pemicuan komitmen masyarakat, pembentukan komite masyarakat, dan seterusnya. Pelaksanaannya sangat praktis, spontanitas, tidak bersifat seremonial, tidak menggurui, tidak memerintah, tidak upper and lower dan murah. Semua terserah masyarakat itu sendiri.
Dari pengalaman pelaksanaan kegiatan di tiga dusun tersebut menunjukkan tingkat partisipasi yang cukup tinggi. Keterlibatan masyarakat melakukan pemeriksaan jentik berkala meningkat. Ternyata banyak sukarelawan yang bersedia mendukungnya, sehingga kader kesehatan / posyandu tidak lagi sibuk memeriksa jentik dari rumah ke rumah. Bukankah para kader posyandu sudah cukup sibuk dengan program lainnya? Anggota masyarakat biasalah yang kemudian menjadi juru pemantau jentik sukarela, tentu saja harus dibekali skill untuk itu dengan on the job trining. Dalam pemicuan, masyarakat bermusyawarah di antara mereka dalam membuat jadwal pemerikasaan jentik dan kegiatan 3M-plus serta siapa saja personil yang melaksanakannya. Penandaan rumah dilakukan oleh para jumantik sukarela tersebut. Tanda merah disepakati untuk dibubuhkan pada kartu rumah yang ada jentiknya. Kesepakatan-kesepakatan telah tercapai di tiga dusun ini, semuanya mengikat anggota masyarakat seperti yang telah disepakati bersama, termasuk adanya sangsi sosial bagi keluarga yang berturut-turut positif ada jentik.
Setiap pemicuan selalu diikuti pembentukan komite masyarakat, demikian pula dengan program ini. Komite inilah yang kemudian melakukan penggerakan pelaksanaan, pemantauan dan pertemuan evaluasi di tingkat dusun sebulan sekali. Mereka juga menyepakati dan menunjuk siapa yang berwenang mengawasi pelaksanaannya, bisa ketua komite atau tokoh lain yang mereka hormati. Berbagai hal yang menyangkut pelaksanaan kegiatan, termasuk masalah-masalah yang timbul serta pemecahannya kemudian dibahas dalam pertemuan bulanan yang diselenggarakan oleh komite.
Begitulah Kecamatan senduro melaksanakan pemberdayaan masyarakat untuk menanggulangi DBD melalui pemicuan ala CLTS. Harapan yang ingin dicapai dan sekaligus menjadi indikator keberhasilan adalah ABJ (anka bebas jentik) >95% dan terjadi penurunan kasus penyakit DBD. Keberhasilan indikator kedua paling cepat dinilai setelah satu tahun pelaksanaan. Mudah-mudahan semuanya berjalan dengan lancar dan berhasil dan bisa direplikasikan ke desa-desa yang lain. Bagaimana dengan pengalaman anda, kita bisa berbagi bukan?
Metode pemberdayaan masyarakat yang dikenal dengan CLTS sudah terbukti sangat efektif. Dengan metode ini masyarakat se-Kecamatan Senduro yang terdiri dari 12 desa telah merdeka dari perilaku buang air besar sembarangan. Tidak hanya itu, tahun lalu Kecamatan Gucialit yang letaknya bersebelahan dengan Senduro telah lebih dahulu merdeka dari perilaku buang air besar tidak sehat juga dengan metode yang sama.
Sesuatu yang khas pada CLTS ialah kegiatan pemicuan terhadap masyarakat. Bila dilaksanakan dengan baik ternyata pemicuan tersebut mampu mengangkat kesadaran masyarakat untuk mengambil tanggung jawab penuh dalam hal sanitasi total. Upaya subsidi penuh oleh pemerintah, stimulan pembuatan jamban, serta penyuluhan konvensional sudah biasa dilakukan. Tetapi puluhan tahun upaya tersebut ternyata belum mampu memerdekakan masyarakat dari buang air besar sembarangan. Ternyata dengan CLTS, perubahan bisa tercapai lebih cepat. Tidak perlu menunggu berpuluh tahun, cukup beberapa minggu perdusun sudah 100% BAB di jamban.
Karena itulah maka kami terinspirasi melakukan metode yang sama untuk kegiatan penanggulangan DBD. Kegiatan PSN tidak lagi berdasar instruksi dari atas tetapi benar-benar buttom up. Selama ini PSN lebih banyak dikomando oleh pemerintah atau sektor terkait melalui gerakan yang bersifat top down. Dan ternyata kasus DBD tidak berkurang, malah ada kecenderungan dari tahun ke tahun meningkat. Di jaman di mana masyarakat sudah tidak takut pada penguasa tentunya lebih sulit untuk memastikan masyarakat selalu menuruti instruksi dari atas yang dalam hal ini antara lain instruksi melaksanakan PSN. Karenanya, hanya kesadaran masyarakatlah kunci keberhasilan PSN. PSN serentak tidak mungkin terlaksana berkelanjutan sepanjang tahun kecuali atas prakarsa dari masyarakat sendiri. Dan kita semua tahu kalau sifat serentak dan berkelanjutan sepanjang tahun dalam PSN adalah kunci keberhasilan penggulangan DBD. Itulah mengapa harus buttom up.
Kami percaya bahwa masyarakat desa bisa mengerti dan memahami keadaan dan kebutuhan mereka sendiri. Bahkan mungkin lebih mengerti dari pada petugas kita. Biarkan warga bermusyawarah merencanakannya sendiri, melaksanakan dan menilainya sendiri tentang berbagai upaya yang dianggap perlu. Mereka pasti bisa karena mereka pasti memiliki kapabilitas dan solidaritas untuk itu. Dengan begitu, petugas kesehatan dan dinas lintas sektor tinggal berperan sebagai fasilitator saja.
Program penanggulangan DBD dengan metode pemicuan ala CLTS di Kecamatan Senduro telah dimulai oleh masyarakat tiga dusun endemis DBD di Desa Purworejo, Sarikemuning dan Senduro. Dengan dukungan penuh Muspika dan pemerintah desa kami melakukan pemicuan di ketiga dusun tersebut. Kegiatan dimulai dengan melakukan survey lapangan bersama masyarakat terhadap jentik dan penderita atau mantan penderita DBD kemudian membuat pemetaan bersama. Dengan curah pendapat masyarakat diajak menganalisa bersama mengenai penyebab penyakit, cara penularan, akibat penyakit sampai dampak ekonomi yang ditimbulkan. Juga penting mengajak masyarakat memikirkan bahwa keberadaan jentik di satu rumah tidak hanya membahayakan isi rumah itu saja, tetapi juga membahayakan para tetangganya. Dari situlah pemicuan dimulai. Dengan begitu diharapkan muncul kesadaran bersama bahwa penanggulangan DBD harus dilaksanakan oleh masyarakat secara bersama-sama. Dan mereka sendirilah yang harus memulai dan merencanakan semuanya.
Pemicuan tersebut di atas mirip dengan yang biasa kita lakukan dalam CLTS, yaitu transct walk, pemetaan, analisa partisipatif, pemicuan komitmen masyarakat, pembentukan komite masyarakat, dan seterusnya. Pelaksanaannya sangat praktis, spontanitas, tidak bersifat seremonial, tidak menggurui, tidak memerintah, tidak upper and lower dan murah. Semua terserah masyarakat itu sendiri.
Dari pengalaman pelaksanaan kegiatan di tiga dusun tersebut menunjukkan tingkat partisipasi yang cukup tinggi. Keterlibatan masyarakat melakukan pemeriksaan jentik berkala meningkat. Ternyata banyak sukarelawan yang bersedia mendukungnya, sehingga kader kesehatan / posyandu tidak lagi sibuk memeriksa jentik dari rumah ke rumah. Bukankah para kader posyandu sudah cukup sibuk dengan program lainnya? Anggota masyarakat biasalah yang kemudian menjadi juru pemantau jentik sukarela, tentu saja harus dibekali skill untuk itu dengan on the job trining. Dalam pemicuan, masyarakat bermusyawarah di antara mereka dalam membuat jadwal pemerikasaan jentik dan kegiatan 3M-plus serta siapa saja personil yang melaksanakannya. Penandaan rumah dilakukan oleh para jumantik sukarela tersebut. Tanda merah disepakati untuk dibubuhkan pada kartu rumah yang ada jentiknya. Kesepakatan-kesepakatan telah tercapai di tiga dusun ini, semuanya mengikat anggota masyarakat seperti yang telah disepakati bersama, termasuk adanya sangsi sosial bagi keluarga yang berturut-turut positif ada jentik.
Setiap pemicuan selalu diikuti pembentukan komite masyarakat, demikian pula dengan program ini. Komite inilah yang kemudian melakukan penggerakan pelaksanaan, pemantauan dan pertemuan evaluasi di tingkat dusun sebulan sekali. Mereka juga menyepakati dan menunjuk siapa yang berwenang mengawasi pelaksanaannya, bisa ketua komite atau tokoh lain yang mereka hormati. Berbagai hal yang menyangkut pelaksanaan kegiatan, termasuk masalah-masalah yang timbul serta pemecahannya kemudian dibahas dalam pertemuan bulanan yang diselenggarakan oleh komite.
Begitulah Kecamatan senduro melaksanakan pemberdayaan masyarakat untuk menanggulangi DBD melalui pemicuan ala CLTS. Harapan yang ingin dicapai dan sekaligus menjadi indikator keberhasilan adalah ABJ (anka bebas jentik) >95% dan terjadi penurunan kasus penyakit DBD. Keberhasilan indikator kedua paling cepat dinilai setelah satu tahun pelaksanaan. Mudah-mudahan semuanya berjalan dengan lancar dan berhasil dan bisa direplikasikan ke desa-desa yang lain. Bagaimana dengan pengalaman anda, kita bisa berbagi bukan?
Langganan:
Postingan (Atom)