Mengenai Saya

Foto saya
Lumajang, Jawa Timur, Indonesia

Selasa, 16 Desember 2008

Bisakah Program ARU (anak remaja dan usila) Lebih Menarik?

Pada artikel Rakor kesehatan Lansia Prop Jatim yang lalu telah saya singgung ada kesan bahwa program kesehatan lansia dan program ARU (anak remaja dan usia lanjut) lainnya ternyata kurang mendapat perhatian dari sebagian pemangku jabatan. Menurut sebagian kasi ARU yang hadir, program ARU sulit menerima kucuran dana sehingga program berjalan tanpa greget yang semestinya. Dan pemberdayaan masyarakat dalam hal ini remaja dan usia lanjut tidak maksimal.

Ada ilustrasi menarik dari salah seorang kasi ARU, begini: Kalau ada beberapa ibu melahirkan atau bayi baru lahir mati maka semua pasti ribut dan gelisah bahkan bukan hanya kalangan kesehatan saja. Mulai dari ketua RT, kepala desa bahkan sampai bupatipun meributkannya. Tapi kalau yang meninggal adalah lansia maka tidak akan ada respon apa-apa, alias aman-aman saja. Petugas tidak perlu membuat laporan urutan kejadian dan laporan otopsinya. Juga tidak perlu "diadili" dalam forum AMP (baca audit atas terjadinya kasus kematian) sebagaimana pada kematian ibu dan bayi baru lahir.

Program ARU kalah moncer dengan program semisal kesehatan ibu dan anak, gizi, pemberantasan penyakit, program rawat inap dan yang terkini desa siaga. Program-program ini biasanya masuk pada skala prioritas mualai dari pusat sampai tingkat puskesmas. Saya tidak hendak menyoal mengapa prioritasnya demikian. Itu tidak salah, karena program tersebut dianggap memiliki daya ungkit yang tinggi dalam peningkatan status kesehatan masyarakat dan menjadi indikator utama keberhasilan pembangunan kesehatan.

Meskipun demikian, ada beberapa alasan mengapa program ARU termasuk program lansia harus mendapat perhatian besar:
1. Adanya kecenderungan paradigma baru, yaitu paradigma sehat yang menekankan pada perubahan promosi kesehatan dan pencegahan penyakit.
2. Proporsi lansia makin banyak akibat keberhasilan peningkatan usia harapan hidup sehingga perlu penanganan khusus.
3. Masalah remaja kian komplek dan menghawatirkan terutama yang berkaitan dengan pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba dan bahaya AIDS sehingga perlu pendekatan melalui komunitas remaja.
4. Dibeberapa daerah program KIA-nya sudah bagus, tinggal melanjutkannya dengan program intensif bagi remaja sebagai bagian kesinambungan program.

Tetapi seorang rekan disamping saya mengatakan bahwa di daerahnya program UKS semata-mata dikerjakan oleh orang kesehatan saja meski secara kelembagaan pokjanya adalah lintas sektor. Ketua pokja UKS di kecamatan malah camat dan dibantu dari sektor pendidikan dan agama di samping puskesmas tentunya. Kenyataan di lapangan UKS hanya berjalan atas peran orang puskesmas saja, bahkan guru kelasnya saja meninggalkan petugas yang datang melaksanakan skrining UKS di kelas I. Lantas teman di sebelah saya lainnya menimpali: Boro-boro lintas sektor mau peduli, la wong orang kesehatan saja juga tidak begitu tertarik. Ia melanjutkan: Di tempat saya yang namanya ARU selalu sulit mendapat persetujuan anggara, biasanya "diskrap" untuk hal lain yang katanya lebih penting. Tentu saja saya tidak hendak menggeneralisasi masalah, itu mungkin kasuistis saja. Tetapi bukan tidak ada benarnya lho. Saya dengar-dengar katanya kasi ARU akan dihapus dari bidang kesga dan akan masuk bidang yankes tanpa kasi.

Lalu siapa yang salah? Kita tidak bisa menyalahkan orang yang tidak tertarik bukan? Saya waktu itu menyarankan (maaf sok tahu, wong cuma kapus kok nyaranin para kasi ARU se Jatim) agar situasi tersebut kita kembalikan ke diri kita. Dari pada menyalahkan orang lain lebih baik introspeksi diri. Carilah kesalahan pada diri pengelola program sendiri. Sudahkah Anda berusaha optimal membuat atasan Anda (kepala dinas), kepala puskesmas dan apalagi dinas lintas sektor lainnya untuk tertarik? Seharusnya Anda semua bisa mengubah situasi itu.

Saya mengajukan usulan agar pengelola program melaksanakan advokasi dan bina suasana yang benar (kalau saya mengucapkan kalimat ini rekan-rekan saya di Lumajang biasanya ketawa karena terlalu sering mendengarnya dari saya). Banyak taktik dalam beradvokasi tapi saya lebih sering menggunakan taktik negosiasi, karena biasanya orang hanya akan mendukung kita bila mereka mendapat keuntungan. Jadi advokasi bukan kegiatan minta tolong dukungan tapi suatu proses negosiasi dan transaksi bahwa saya dapat apa dan Anda dapat apa. Jangan curiga dulu, itu tidak selalu uang. Lalu bina suasana? Bagi saya inti dari bina suasana itu adalah perang opini sehingga masyarakat berkesan bahwa program yang kita tawarkan itu penting untuk mereka.

Cukup? Belum! Jejaring advokasi dan bina suasana akan berhasil bila Anda mampu secara kreatif mengolah dan kemudian mengemasnya menjadi sebuah produk / program yang menarik dan meyakinkan. Untuk kesekian kalinya saya katakan bahwa perubahan bisa dimulai dari Anda, siapapun Anda dan apapun jabatan Anda.

Bagaimana pendapat Anda? Kritik Anda amat bermanfaat bagi saya.

Related post:
1. Sekilas Puskesmas santun Lansia
2. Rakor Kesehatan Lansia Propinsi Jawa Timur
3. Safari Santun Lansia ke Desa Ranupani
4. Lomba Senam Diabetes untuk Lansia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Klik di bawah ini untuk melihat daftar semua tulisan saya