Bina suasana yang baik sangat berguna untuk petugas puskesmas dalam membina partisipasi masyarakat melalui UKBM (Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat), termasuk CLTS dan program pemberdayaan lainnya.
Melaksanakan program UKBM gampang-gampang susah. Kalau partisipasi masyarakatnya baik maka semua pekerjaan jadi mudah. Bahkan UKBM-UKBM akan menjadi semacam saluran pemasaran bagi program kesehatan yang kita tawarkan. Tetapi bila situasi yang terjadi sebaliknya, dimana partisipasi masyarakat rendah maka semuanya harus kita lakukan sendiri. Bukan saja program kesehatan tidak terbantu, tetapi UKBM-nya itu sendiri akan menjadi beban tersendiri bagi petugas lapangan untuk menghidupinya.
Saya tertarik menulis posting ini karena semua orang kesehatan pada umumnya sepakat bahwa paritisipasi masyarakat adalah kunci keberhasilan UKM (upaya kesehatan masyarakat) di puskesmas. Tetapi justru partisipasi inilah yang paling sering saya dengar dikeluhkan sulit oleh orang puskesmas. Banyak diantara tamu dari berbagai daerah yang pernah studi banding di tempat saya juga mengeluhkan hal yang sama. Beberapa alasan dikemukakan, mulai dari tingkat ekonomi rendah, pendidikan rendah, geografi luas dan terpencil, transportasi sulit, jumlah penduduk yang terlalu banyak bahkan menyebut etnis tertentu sebagai etnis yang memang tidak bisa diajak berubah.
Mungkin sederet alasan yang dikemukakan tersebut ada benarnya. Tetapi anehnya kondisi kebalikannya sering saya dengar juga menjadi alasan pembenar mengapa partisipasi masyarakat tidak seperti yang diharapkan. Ternyata beberapa orang mengeluhkan bahwa mereka sulit menarik partisipasi karena masyarakatnya adalah orang-orang elit yang kaya sehingga sulit diajak kerja sama, pinter-pinter sehingga sulit diberi tahu, desanya sudah maju sehingga sulit diajak gotong royong untuk misalnya membentuk desa siaga. Jadi aneh karena kondisi dan situasi apapun menjadi (baca: dianggap) hambatan. Dan yang disalahkan selalu masyarakat. Kondisi masyarakatlah yang dianggap menyebabkan program yang berbasis masyarakat tidak berhasil. Pertanyaannya adalah: Apakah sudah dicoba menggarap satu dusun saja bila desanya luas, menggarap satu komunitas kecil saja dulu bila penduduknya sangat banyak, biarkan mereka yang bicara dan bukan kita yang pidato kalau masyarakatnya pinter-pinter. Kalau suatu entis tertentu sulit difasilitasi lalu mengapa di tempat lain berhasil menggarap etnis yang sama?
Akan lebih baik bila penyebab kegagalan menggerakkan masyarakat lebih diarahkan ke diri petugas sendiri. Masyarakat mana saja ada kecenderungan tidak mau repot, tidak mau ruwet, tapi mau enak. Makanya perlu ada petugas yang harus melayani dan memfasilitasi mereka. Di tempat yang sekarang partisipasi masyarakatnya baik sebenarnya juga pernah memiliki masa-masa sulit di awalnya. Kemudahan tidak tiba-tiba datang dari langit dan semua orang menurut saja pada petugas. Sama saja, di tempat manapun perlu proses untuk mencapai keadaan seperti yang diinginkan. Kalau kita datang ke orang lain hanya saat butuh saja dan setelah itu tidak acuh lagi, tentunya sulit berharap terlalu banyak partisipasi dari orang tersebut.
Suatu ketika pernah saya melihat pemicuan CLTS oleh fasilitator desa yang didampingi fasilitator kecamatan di sebuah dusun Desa Wonocempokoayu Kecamatan Senduro. Masyarakat yang hadir ada sekitar 80-an orang yang terdiri laki-laki, perempuan, tua, muda dan bahkan anak-anak dari berbagai lapisan di dusun tersebut. Semua proses tampak sangat lancar dan sukses, diskusi berlangsung partisipatif, banyak yang mengajukan usul, bahkan kadang berdebat seru di antara mereka. Fasilitator sesekali mengeluarkan ice breaker game andalannya, mereka tampak bersemangat, gembira bahkan ada yel-yel dan nyanyian tentang CLTS segala. Kemudian acara ditutup dengan sederet kesepakatan membuat dan menggunakan jamban.
Satu bulan kemudian saya mendapat laporan ternyata masyarakat tersebut di atas tetap tidak berubah, belum membuat jamban dan masih BAB di tegalan, dibalik semak-semak belakang rumah atau kotorannya dilempar saja ke curah/jurang dekat rumah. Hanya sedikit sekali yang memenuhi janji sebagaimana yang disepakati ketika pemicuan. Jadi? Mereka datang sekedar memenuhi undangan kepala dusun setempat yang mereka segani. Mereka tertawa-tawa saat pemicuan karena fasilitatornya memang lucu. Mereka bernyanyi-nyanyi karena ingin mengimbangi fasilitator yang gemar bernyanyi, apa lagi lagunya kocak juga. Mereka terpaksa berjanji membuat jamban hanya karena tidak sanggup berkata tidak saat ditanya kesediaan oleh fasilitator kecamatan yang jauh-jauh telah sudi datang ke dusunnya. Lho?
Jadi para fasilitator sesungguhnya tidak tahu apa yang ada di benak masyarakat di balik apa yang terlihat kasat mata saat itu, kata orang Jawa kecele. Orang-orang yang datang tetap pada pendiriannya yang semula. Masyarakat masih tetap yakin akan pendirian dan tradisi BAB-nya. Apanya yang salah, kenapa orang lain yang usil, toh dari dulu tidak apa-apa. Kira-kira begitulah yang ada di benak sebagian besar orang yang menghadiri pemicuan kala itu. Kalau begitu mana mungkin fasilitator dapat "menguasainya". Mereka hanya melakukan bina suasana untuk kelancaran pertemuan saja. Bukan bina suasana yang merupakan strategi memenangkan opini.
Pengertian bina suasana mungkin berbeda-beda, tapi yang saya maksudkan di sini adalah serangkaian ucapan, bahasa tubuh, sikap dan tindakan yang kita lakukan yang ditujukan agar berpengaruh positif terhadap opini dan sikap individu, keluarga dan masyarakat terhadap diri kita dan program yang sedang kita tawarkan. Dari definisi ini sekarang bisa dimengerti mengapa ada petugas tertentu mudah berpromosi kepada masyarakat sedang yang lain susahnya bukan main. Keberhasilannya tidak hanya tergantung bina suasana sesaat tapi dipengaruhi bina suasana jangka panjang yang pernah kita lakukan. Bina suasana yang baik dan mengena akan memberi kontribusi besar terhadap promosi program yang kita tawarkan.
Sekarang sudah jaman demokrasi, tidak mudah petugas mendikte apalagi memaksa masyarakat mengikutinya. Pada umumnya orang hanya akan melakukan apa yang mereka sukai dan yang mereka pikir menguntungkan. Mudah dipahami bahwa esensi bina suasana sebenarnya berada pada area perang opini. Dan kita hanya bisa menang kalau kita tahu apa yang ada di benak mereka. Itu hanya bisa dicapai kalau benar-nenar mengenali masyarakat dengan segala aspeknya secara cermat dan menguasai medannya. Menang berarti masyarakat telah berpikir atau berpendapat sebagaimana arah opini atau pendapat yang kita bangun. Ingat bukan, orang hanya akan melakukan apa yang menurut benak mereka baik atau menguntungkan.
Tapi jangan salah, perang opini yang saya maksud bukan untuk menang-menangan. Bagaimanapun kita tetap harus responsive terhadap aspirasi yang bergulir. Yang kita lakukan adalah pemberdayaan masyarakat. Yang kita tuju adalah kemandirian masyarakat. Kita memfasilitasi mereka untuk memahami masalah mereka sendiri, mencari dan menjalankan pemecahannya dan untuk kehidupan mereka sendiri. Perang opini dalam pemberdayaan tidak identik dengan mendominasi keinginan masyarakat.
Sebelum menetapkan cara dan media bina suasana, pertimbangkan dulu kemana opini masyarakat akan kita giring. Kalau sudah maka kita bisa memutuskaan pesan apa yang akan kita buat. Mungkin perlu juga menyusunnya dalam betuk slogan atau yel-yel atau nyanyian. Dan kemudian kita pilih saluran komunikasi mana yang akan kita pakai. Asal pidato saja, atau asal buat spanduk, atau asal buat brosur saja, tidak termasuk ke dalam pengertian bina suasana. Banyak cara dan saluran yang bisa dipilih untuk bina suasana, misalnya rapat sosialisasi, menyebarkan pesan melalui saluran komunikasi berupa brosur, spanduk, radio, dan lain-lain. Bisa saja dengan merekrut tokoh masyarakat atau tokoh agama menjadi model atau semacam duta untuk menjadi teladan. Apapun bisa dilakukan, yang penting sudah melalui analisa yang mendalam sehingga sesuai dengan situasi setempat. Adapun masalah taktik pelaksanaan di lapangan tentunya tidak perlu kaku. Biarkan petugas berkreasi guna menyesuaikan dengan situasi dan kondisi lokal.
Salah satu bagian tidak terpisahkan dalam bina suasana adalah citra diri petugas. Yaitu bagaimana kita menilai diri kita sebagaimana orang lain menilai. Citra diri bisa dikembangkan dan tentu akan berpengaruh positif terhadap personal branding. Selanjutnya Image dan merek diri amat berpengaruh pada penerimaan masyarakat terhadap apa saja yang kita bawa untuk mereka. Jadi mereka mau atau tidak sangat tergantung kita juga. Jangan mengajak orang jadi donatur bila kita dikenal tidak terbuka masalah uang. Jangan mengajak orang lain berperilaku hidup sehat kalau kita suka merokok di tempat umum. Jangan mengajak orang optimis pada suatu hal kalau kita selalu gagal akan hal itu. Dan jangan… jangan … dan seterusnya.
Bagaimana bila anda kurang percaya diri terhadap personal branding anda? Tidak usah berkecil hati. Sambil tetap mengembangkan citra diri anda bisa melakukan bina suasana dengan membuat networking. Jadi anda tidak sendiri melakukannya, melainkan dengan anggota jaringan. Membuat jaringan bina suasana sangat penting dalam pemberdayaan masyarakat. Network pemasaran barang sudah lama kita kenal, termasuk juga multi level marketing. Bahkan preman saja bisa bekerja memanfaatkan jaringan, masak kita tidak bisa? Untuk membuat jaringan bina suasana yang kita butuhkan adalah kemampuan advokasi yang nantinya akan saya posting tersendiri.
Mungkin secara teori apa yang saya kemukakan kurang bermutu, maka saya butuh koreksi para pembaca. Posting ini dibuat hanya dengan berbekal sedikit teori tapi sudah melalui trial and error yang pernah saya alami sebagai Kepala Puskesmas Senduro dan sebelumnya Puskesmas Gucialit Kabupaten Lumajang Jawa Timur. Mungkin Anda punya pendapat lain maka saya juga akan belajar dari Anda, silakan tinggalkan komentar.
WOW!! kepala puskesmas yang hebat pak!! berdedikasi.....
BalasHapusterimakasih, nice writting...