Untuk melanjutkan pertanyaan…. Kalau Anda seorang sanitarian puskesmas, dapatkah Anda menjamin semua warganya membuat dan menggunakan jamban tanpa dana bantuan? Kalau Anda seorang bidan desa, dapatkah anda melaksanakan parent education atau P4K tanpa uang? Atau kalau Anda seorang promkes puskesmas dapatkah Anda membangun gedung posyandu tanpa duit? Dan bila Anda seorang petugas surveilans dapatkah Anda melaksanakan pemeriksaan jentik berkala di semua rumah secara rutin seminggu sekali dengan gratis?
Apa jawaban Anda? Ya, memang apa yang bisa gratis, buang air kecil saja harus bayar. Membuat jamban perlu material dan tukang yang semuanya harus bayar. Kalau cuma cuap-cuap memberi penyuluhan paling-paling warga hanya inggah-inggih tapi ora kepangge (jawab ya tapi tidak mengerjakan). Kalau kita tidak membawa bantuan paling-paling hanya beberapa orang saja yang buat jamban sukarela, lainnya cuek saja.
Sama juga dengan kegiatan parent education. Pelaksanaan kegiatan ini perlu mengumpulkan banyak orang. Jadi butuh dana untuk konsumsi dan transportasi mereka. Kegiatannya tidak cukup sekali karena harus rutin.Dan siapa yang akan bayar? Membuat posyandu juga begitu, masak orang disuruh kerja bakti terus? Apalagi pemeriksaan jentik berkala. Berapa rumah yang harus diperiksa, ribuan bukan? Itu artinya kita mesti membayar puluhan atau bahkan ratusan juru pemantau jentik. Sudah dibayar saja pemeriksaannya tidak rutin apa lagi kalau gratis.
Tetapi saya katakan kepada Anda, semua itu bisa dengan sukses tanpa dana.
Sebagian Anda sudah tahu kemana arah pembicaraan saya. Betul sekali. Sebenarnya masyarakat kita memiliki sesuatu, bukan tidak punya apa-apa sama sekali. Sehingga kita tidak perlu selalu memberi. Kalau mereka sering meminta-minta sebenarnya hanya karena mereka tidak menyadari dirinya bisa mandiri. Atau mungkin karena kita sering mengkondisikan bahwa mereka lemah. Kita senang berpidato seakan-akan mereka bodoh semua. Kita sering membawa sumbangan atau stimulant atau apa lagi namanya seolah mereka akan kelaparan tanpa sedekah kita. Kalau tiap hari disuapi, maka selamanya akan bergantung.
Masyarakat, lapisan manapun pasti memiliki kapabilitas. Mungkin mereka mampu melaksanakan sesuatu, tapi tidak mau. Mungkin mereka mau berbuat sesuatu, tapi tidak tahu dari mana harus memulainya. Mungkin sendiri-sendiri tidak mampu tapi seandainya mereka bisa bersama-sama menjadi bisa. Mungkin mau dan merasa mampu tapi tidak ada yang mengajak berpartisipasi. Mungkin mereka cuek akan sesuatu karena memang belum pernah terlintas di benaknya akan hal tersebut.
Kita menjadi katalisator saja sehingga kemudian masyarakat sendiri akan berinteraksi di antara mereka. Tidak perlu banyak nasihat seakan kita paling pintar. Biarkan mereka mencari jalan keluar masalah mereka sendiri. Kita picu agar bisa tumbuh komitmen yang kuat atas rencana yang telah mereka susun sendiri. Support seperlunya mungkin ada baiknya anda berikan. Bila mereka mulai lelah atau jenuh berilah mereka sekedar penyemangat kembali atau reinforcement.
Jadi cukuplah kalau seorang petugas berperan sebagai fasilitator masyarakat. Tidak perlu datang ke masyarakat dengan gaya pejabat yang memegang kekuasaan dan kebijaksanaan. Hindari sikap upper and lower yang hanya akan membuat gap dengan mereka. Anda tidak perlu banyak berpidato. Untuk diketahui, dua orang staf yang pernah jadi promkes saya tidak pandai berorasi. Yang satu bicaranya gremeng (suaranya seperti tertelan sendiri) dan jarang mau pidato, sedang satunya lagi walau agak sering pegang microphone tapi suaranya memekakkan telinga dan tidak menarik sama sekali. Tetapi keduanya adalah tenaga promkes paling efektif menggerakkan masyarakat yang pernah saya kenal. Dan merekalah andalan saya di lapangan yang sangat luar biasa.
Lalu bagaimana kalau sebagian masyarakat memang benar-benar lemah? ….. Tepat sekali, memberi itu bukan perbuatan terlarang. Apa lagi kalau yang memberi itu adalah pemerintahnya sendiri. Pertanyaannya: Bagaimana kalau subsidi untuk itu tidak ada? Kita diam saja menunggu sampai dana yang kita usulkan turun? Kita juga tidak dilarang membuat proposal untuk mencari bantuan, tapi jangan sekali-kali meremehkan potensi masyarakat itu sendiri yang disebut solidaritas. Dengan solidaritas itulah kita bisa memicu sikaya membantu simiskin, sikuat menyokong silemah.
Kalau miskin dan lemah semua gimana? Maka setidaknya mereka dapat bersatu sehingga masih ada yang dapat mereka kerjakan untuk menolong mereka sendiri.
Jadi, percayalah bahwa masyarakat memiliki KAPABILITAS DAN SOLIDARITAS. Itulah kunci keberhasilan saya dan tim melaksanakan program-program pemberdayaan masyarakat, seperti CLTS / Stop BABS.
Wah-wah, penulis tidak suka duit nih. He-he hari gini mana ada orang tidak mau duit. Bukan begitu maksudnya. Kita bekerja secara profesional dan hasilnya untuk nafkah keluarga bukan? Saya sangat senang bila bekerja dengan gaji tinggi, ada insentif untuk semua prestasi dan cukup dana maupun sarana untuk melaksanakan semuanya. Tapi negeri ini ….. Bahkan 63 tahun merdeka, kita masih belum merdeka dari busung lapar.
Apakah anda sedang berfikir: Di tempat Anda tidak bisa begitu karena masyarakat Anda sangat sulit partisipasinya? Jawab saya adalah: Kesulitan di mana-mana selalu ada. Dengan bina suasana masyarakat yang baik maka partisipasi mereka akan Anda dapat. Ini bukan slogan, saya dan tim sudah membuktikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar