Kata Bijak 1: Jangan takut banyak anak karena takut miskin karena setiap anak yang lahir sudah disediakan rejekinya.
Komentar: Sebuah kalimat yang sangat bijak, tidak salah dan sebagai ummat beragama saya percaya itu benar. Kalimat ini masih sering saya dengar dan bahkan dari pejabat yang berpengaruh bagi orang banyak. Saya tidak hendak mempersoalkan kebenaran dalil di atas. Cuma berhati-hatilah mengimplementasikan dalam kehidupan sosial kita. Bisa jadi kita tidak bijaksana menggunakan dalil tersebut. Dan saya hanya akan menyorot aspek sosialnya saja.
Saya pernah dengar dari seorang guru agama kalau udara yang kita hirup setiap hari adalah rejeki bagi kita, tanah yang kita injakpun adalah rejeki yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Jadi begitu kita lahir dan bernafas maka jelas kita langsung mendapat rejeki yang namanya udara. Kemudian dibaringkan di atas tempat tidur bayi, maka tempat itu dan tanah di bawahnya adalah rejeki bagi sibayi. Ketika kehausan dia mendapat ASI yang bergizi tinggi sebagai rejeki juga. Dan seterusnya setelah bayi bisa melihat dia akan memandang figur seorang ayah. Rejeki juga kan? Pendek kata, begitu lahir sudah pasti mendapat rejeki tak ternilai dari Tuhan Yang Maha Pemurah.
Sikap beberapa orang yang bahkan mungkin sikap beberapa pejabat yang terlanjur banyak anak sebagaimana judul artikel sepertinya sangat bijaksana. Tapi coba kita lihat kenyataannya di luar sana, begitu banyak orang yang tidak mampu membayar biaya rumah sakit bersalin, tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi bagi bayi yang dilahirkannya. Kita sering menemukan kasus gizi buruk karena orang tuanya tidak mampu memberi makan yang layak atau setidaknya mereka tidak mampu ilmunya dalam merawat anak.
Ketika tidak mampu membayar rumah sakit mungkin keluarga tersebut bisa mengurus surat keterangan miskin. Maka keluarlah ibu dan bayinya dari rumah sakit dengan gratis. Itu rejeki bukan? Untuk makan sehari-hari mungkin mendapat bantuan dari BLT. Itu juga rejeki. Kalau masih kurang juga dan jatuh ke kurang gizi maka puskesmas akan turun tangan menyantuninya dengan PMT pemulihan senilai 4 ribu rupiah perhari sampai sembuh dari gizi buruknya. Lagi-lagi dia talah mendapat rejeki.
Kata saya: Jadi kita tidak takut tidak kebagian rejeki Allah. Rejeki Allah tak terhingga. Tapi kita takut kalau rejeki kita masih harus melalui surat keterangan miskin. Kita takut kalau rejeki kita masih lewat meminta-minta kepada para dermawan. Kita takut tidak mampu menafkahi mereka dari hasil kerja kita sehingga menjadi beban negara dan masyarakat. Kita tidak takut tidak makan tapi kita takut tidak mampu memberi pendidikan yang baik bagi anak-anak kita.
Mungkin contoh-contoh tadi terlalu ekstrim. Memang tidak selalu setragis itu. Tapi tidak bisa kita pungkiri bahwa mengasuh anak butuh biaya, ilmu dan waktu yang banyak. Biaya sekolah sangat mahal sedang persaingan kehidupan makin keras. Pertumbuhan lowongan kerja tidak sebanding dengan pertambahan anak manusia yang membutuhkannya. Jadi perencanaan keluarga masih tetap relevan sehingga kita tidak meninggalkan generasi yang lemah. Bagaimana pendapat Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar