Untuk melanjutkan pertanyaan…. Kalau Anda seorang sanitarian puskesmas, dapatkah Anda menjamin semua warganya membuat dan menggunakan jamban tanpa dana bantuan? Kalau Anda seorang bidan desa, dapatkah anda melaksanakan parent education atau P4K tanpa uang? Atau kalau Anda seorang promkes puskesmas dapatkah Anda membangun gedung posyandu tanpa duit? Dan bila Anda seorang petugas surveilans dapatkah Anda melaksanakan pemeriksaan jentik berkala di semua rumah secara rutin seminggu sekali dengan gratis?
Apa jawaban Anda? Ya, memang apa yang bisa gratis, buang air kecil saja harus bayar. Membuat jamban perlu material dan tukang yang semuanya harus bayar. Kalau cuma cuap-cuap memberi penyuluhan paling-paling warga hanya inggah-inggih tapi ora kepangge (jawab ya tapi tidak mengerjakan). Kalau kita tidak membawa bantuan paling-paling hanya beberapa orang saja yang buat jamban sukarela, lainnya cuek saja.
Sama juga dengan kegiatan parent education. Pelaksanaan kegiatan ini perlu mengumpulkan banyak orang. Jadi butuh dana untuk konsumsi dan transportasi mereka. Kegiatannya tidak cukup sekali karena harus rutin.Dan siapa yang akan bayar? Membuat posyandu juga begitu, masak orang disuruh kerja bakti terus? Apalagi pemeriksaan jentik berkala. Berapa rumah yang harus diperiksa, ribuan bukan? Itu artinya kita mesti membayar puluhan atau bahkan ratusan juru pemantau jentik. Sudah dibayar saja pemeriksaannya tidak rutin apa lagi kalau gratis.
Tetapi saya katakan kepada Anda, semua itu bisa dengan sukses tanpa dana.
Sebagian Anda sudah tahu kemana arah pembicaraan saya. Betul sekali. Sebenarnya masyarakat kita memiliki sesuatu, bukan tidak punya apa-apa sama sekali. Sehingga kita tidak perlu selalu memberi. Kalau mereka sering meminta-minta sebenarnya hanya karena mereka tidak menyadari dirinya bisa mandiri. Atau mungkin karena kita sering mengkondisikan bahwa mereka lemah. Kita senang berpidato seakan-akan mereka bodoh semua. Kita sering membawa sumbangan atau stimulant atau apa lagi namanya seolah mereka akan kelaparan tanpa sedekah kita. Kalau tiap hari disuapi, maka selamanya akan bergantung.
Masyarakat, lapisan manapun pasti memiliki kapabilitas. Mungkin mereka mampu melaksanakan sesuatu, tapi tidak mau. Mungkin mereka mau berbuat sesuatu, tapi tidak tahu dari mana harus memulainya. Mungkin sendiri-sendiri tidak mampu tapi seandainya mereka bisa bersama-sama menjadi bisa. Mungkin mau dan merasa mampu tapi tidak ada yang mengajak berpartisipasi. Mungkin mereka cuek akan sesuatu karena memang belum pernah terlintas di benaknya akan hal tersebut.
Kita menjadi katalisator saja sehingga kemudian masyarakat sendiri akan berinteraksi di antara mereka. Tidak perlu banyak nasihat seakan kita paling pintar. Biarkan mereka mencari jalan keluar masalah mereka sendiri. Kita picu agar bisa tumbuh komitmen yang kuat atas rencana yang telah mereka susun sendiri. Support seperlunya mungkin ada baiknya anda berikan. Bila mereka mulai lelah atau jenuh berilah mereka sekedar penyemangat kembali atau reinforcement.
Jadi cukuplah kalau seorang petugas berperan sebagai fasilitator masyarakat. Tidak perlu datang ke masyarakat dengan gaya pejabat yang memegang kekuasaan dan kebijaksanaan. Hindari sikap upper and lower yang hanya akan membuat gap dengan mereka. Anda tidak perlu banyak berpidato. Untuk diketahui, dua orang staf yang pernah jadi promkes saya tidak pandai berorasi. Yang satu bicaranya gremeng (suaranya seperti tertelan sendiri) dan jarang mau pidato, sedang satunya lagi walau agak sering pegang microphone tapi suaranya memekakkan telinga dan tidak menarik sama sekali. Tetapi keduanya adalah tenaga promkes paling efektif menggerakkan masyarakat yang pernah saya kenal. Dan merekalah andalan saya di lapangan yang sangat luar biasa.
Lalu bagaimana kalau sebagian masyarakat memang benar-benar lemah? ….. Tepat sekali, memberi itu bukan perbuatan terlarang. Apa lagi kalau yang memberi itu adalah pemerintahnya sendiri. Pertanyaannya: Bagaimana kalau subsidi untuk itu tidak ada? Kita diam saja menunggu sampai dana yang kita usulkan turun? Kita juga tidak dilarang membuat proposal untuk mencari bantuan, tapi jangan sekali-kali meremehkan potensi masyarakat itu sendiri yang disebut solidaritas. Dengan solidaritas itulah kita bisa memicu sikaya membantu simiskin, sikuat menyokong silemah.
Kalau miskin dan lemah semua gimana? Maka setidaknya mereka dapat bersatu sehingga masih ada yang dapat mereka kerjakan untuk menolong mereka sendiri.
Jadi, percayalah bahwa masyarakat memiliki KAPABILITAS DAN SOLIDARITAS. Itulah kunci keberhasilan saya dan tim melaksanakan program-program pemberdayaan masyarakat, seperti CLTS / Stop BABS.
Wah-wah, penulis tidak suka duit nih. He-he hari gini mana ada orang tidak mau duit. Bukan begitu maksudnya. Kita bekerja secara profesional dan hasilnya untuk nafkah keluarga bukan? Saya sangat senang bila bekerja dengan gaji tinggi, ada insentif untuk semua prestasi dan cukup dana maupun sarana untuk melaksanakan semuanya. Tapi negeri ini ….. Bahkan 63 tahun merdeka, kita masih belum merdeka dari busung lapar.
Apakah anda sedang berfikir: Di tempat Anda tidak bisa begitu karena masyarakat Anda sangat sulit partisipasinya? Jawab saya adalah: Kesulitan di mana-mana selalu ada. Dengan bina suasana masyarakat yang baik maka partisipasi mereka akan Anda dapat. Ini bukan slogan, saya dan tim sudah membuktikannya.
Mengenai Saya
Jumat, 28 November 2008
Selasa, 25 November 2008
SMART Action Plan: Stop BAB Sembarangan
(Dibuat pada 26 Pebruari 2008)
I.ISSUE / SITUASI YANG MUNGKIN DAPAT DIUBAH:
Sampai dengan akhir 2007 masih ada 735 KK di Kecamatan Senduro Kab. Lumajang yang BAB sembarangan. Berpuluh tahun telah dilakukan upaya-upaya untuk mengubah situasi ini, umumnya dengan subsidi pemerintah. Banyak kemajuan dicapai tetapi tidak pernah bisa ODF (Open Defecation Free). Kebisaan BAB lebih ditentukan oleh perilaku, bukan semata kemampuan membangun jamban. Metode yang telah terbukti berhasil dilaksanakan di beberapa negara Asia-Afrika adalah metode CLTS (Community-Led Total Sanitation) tanpa subsidi pemerintah sepeserpun. Dengan metode ini pula 2 desa di kecamatan ini, yaitu Desa Puworejo dan Bedayu sudah lebih dahulu mencapai ODF pada tahun 2007.
II. JUDUL RENCANA AKSI:
Gerakan Kecamatan Senduro ODF 2008.
Moto gerakan: MEMANG TIDAK ADA YANG MUDAH, TAPI DENGAN KREATIFITAS SEMUA PASTI BISA
III. TUJUAN RENCANA AKSI:
Mencapai ODF (tidak satu orangpun yang berperilaku BAB sembarangan) di Kecamatan Senduro
IV. PETUGAS (INISIATOR):
1. Kepala Puskesmas Senduro: dr. Arba’i
2. Camat Senduro: Drs Hodiri
3. Fasilitator STBM Kecamatan Senduro: Bagas Catur Rahman, Luqman Afifudin, Sony Wibisono
V. URAIAN MENURUT KRITERIA SMART:
Specific (kegiatan spesifik):
1. Pertemuan konsolidasi tim kecamatan dan desa.
2. Pemetaan perilaku BAB per wilayah posyandu oleh kader Gerbangmas.
3. Pengumpulan data, analisa dan penyusunan strategi dan taktik
4. Menyusun Smart Actiom Plan.
5. Advokasi oleh tim kepada dinas instansi tingkat kecamatan serta Dinkes Kabupaten.
6. Bina suasana kepada seluruh kepala desa, kader kesehatan, toma-toga se Kecamatan Senduro dam masyarakat luas.
7. Pelaksanaan pemicuan CLTS dan gerakan masyarakat.
8. Melaksanakan pemantauan di lapangan oleh tim fasilitator bersama anggota komite masyarakat, dibantu dinas instansi di Kecamatan Senduro
9. Menyelenggarakan deklarasi ODF Kecamatan Senduro.
Measurable (terukur / indikator keberhasilan):
Seratus prosen masyarakat berperilaku BAB di jamban.
Achievable (mengapa dapat dicapai):
1. Sudah ada desa (Desa Purworejo dan Bedayu) yang telah berhasil ODF.
2. Tidak menuntut harus membuat konstruksi jamban tertentu, konstruksi jamban sesuai dengan kemampuan dan kemauan masyarakat.
3. Ada tradisi gotong royong di masyarakat Senduro.
4. Masyarakat punya rasa harga diri, malu, jijik, takut dosa, dan solidaritas kepada sesama yang bisa dipicu.
Relevant (relevansi dengan misi puskesmas):
1. Sesuai dengan fisi pemerintah dalam bidang kesehatan, yaitu ”Menuju Masyarakat mandiri untuk Hidup Sehat”.
2. Sesuai dengan tujuan pemerintah untuk membina dan mendorong penyediaan sarana sanitasi masyarakat.
3. Sesuai dengan misi Gerbangmas, yaitu kampanye Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) serta kesehatan lingkungan.
4. Sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk melaksanakan program Sanitasi Total dan Pemasaran Sanitasi (SToPS).
5. Sesuai dengan prioritas bidang kesehatan Kecamatan Senduro untuk menurunkan angka kesakitan, termasuk dalam hal ini penyakit yang berbasis lingkungan.
Timely (rentang dan ketepatan waktu):
Mulai 1 Maret sampai 7 Juli 2008, disesuaikan dengan pelaksanaan bulan bakti gotong-royong dengan harapan mendapat semangat dan suasana kondusif akibat kampanye berbagai pihak untuk kegotongroyongan.
VI. SUMBER DAYA:
1. Sudah ada tim fasilitator SToPS / CLTS terlatih.
2. Ada Gerbangmas di semua posyandu.
3. Tidak mengharuskan konstruksi jamban tertentu sehingga bisa menggunakan material seadanya.
4. Ada bantuan dana untuk transpor konsultasi dan dana pemicuan dari tim SToP kabupaten (Rp.3,778,200)
5. Ada kegiatan lintas program yang bisa ditumpangi program ini
6. Ada potensi swadaya dan solidaritas / kegotongroyongan masyarakat
VII. KEMUNGKINAN HAMBATAN DAN PENANGGULANGANNYA:
1. Transec walk sulit dilaksanakan karena pemicuan kemungkinan lebih banyak malam hari karenya perlu diganti dengan penayanagan gambar / video setempat bagi yang tidak bisa berkumpul siang hari
2. Partisipasi tidak selalu mudah, karenanya perlu pengikutsertaan masyarakat sepenuhnya sejak awal fasilitasi dan harus diikuti pemantauan oleh komite dan dinas lintas sektor secara berkesinambungan.
3. Fasilitator mungkin akan mengalami masa-masa sulit sebelum nantinya menemukan kiat-kiat taktis sesuai situasi dan kondisi lokal sehingga harus senantiasa mendapat support dari camat dan kepala dinas instansi terkait.
VIII. DAMPAK YANG DIHARAPKAN:
1. Meningkatnya demand masyarakat akan sarana sanitasi.
2. Turunnya angka kesakitan penyakit berbasis lingkungan.
3. Mendorong tercapainya program Gerbangmas bidang PHBS dan penyehatan lingkungan.
4. Mendorong peningkatan strata desa siaga.
5. Terjadi perubahan Mind set masyarakat sehingga tidak hanya tergantung bantuan melainkan mampu berdikari
6. Meningkatnya hubungan kemitraan antara aparatur pemerintahan dengan masyarakat.
IX. JADWAL KEGIATAN:
URAIAN KEGIATAN JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL
Rapat konsolidasi
Pemetaan area & perilaku BAB
Analisa situasi & susun taktik & strategi
Susun action plan
Advokasi
Sosialisasi – bina suasana
Pemicuan CLTS dan gerakan
Pemantauan
Deklarasi kec. ODF
Catatan: Kecamatan Senduro ODF telah tercapai awal Juli 2008 dan dideklarasikan pada tanggal 8 Juli 2008 di Balai Desa Kandangan, dihadiri Bupati Lumajang dan Kepala Subdirektorat Penyehatan Air Depkes RI.
Kami buat action plan ini guna mensubstitusi POA tahunan yang ada.
I.ISSUE / SITUASI YANG MUNGKIN DAPAT DIUBAH:
Sampai dengan akhir 2007 masih ada 735 KK di Kecamatan Senduro Kab. Lumajang yang BAB sembarangan. Berpuluh tahun telah dilakukan upaya-upaya untuk mengubah situasi ini, umumnya dengan subsidi pemerintah. Banyak kemajuan dicapai tetapi tidak pernah bisa ODF (Open Defecation Free). Kebisaan BAB lebih ditentukan oleh perilaku, bukan semata kemampuan membangun jamban. Metode yang telah terbukti berhasil dilaksanakan di beberapa negara Asia-Afrika adalah metode CLTS (Community-Led Total Sanitation) tanpa subsidi pemerintah sepeserpun. Dengan metode ini pula 2 desa di kecamatan ini, yaitu Desa Puworejo dan Bedayu sudah lebih dahulu mencapai ODF pada tahun 2007.
II. JUDUL RENCANA AKSI:
Gerakan Kecamatan Senduro ODF 2008.
Moto gerakan: MEMANG TIDAK ADA YANG MUDAH, TAPI DENGAN KREATIFITAS SEMUA PASTI BISA
III. TUJUAN RENCANA AKSI:
Mencapai ODF (tidak satu orangpun yang berperilaku BAB sembarangan) di Kecamatan Senduro
IV. PETUGAS (INISIATOR):
1. Kepala Puskesmas Senduro: dr. Arba’i
2. Camat Senduro: Drs Hodiri
3. Fasilitator STBM Kecamatan Senduro: Bagas Catur Rahman, Luqman Afifudin, Sony Wibisono
V. URAIAN MENURUT KRITERIA SMART:
Specific (kegiatan spesifik):
1. Pertemuan konsolidasi tim kecamatan dan desa.
2. Pemetaan perilaku BAB per wilayah posyandu oleh kader Gerbangmas.
3. Pengumpulan data, analisa dan penyusunan strategi dan taktik
4. Menyusun Smart Actiom Plan.
5. Advokasi oleh tim kepada dinas instansi tingkat kecamatan serta Dinkes Kabupaten.
6. Bina suasana kepada seluruh kepala desa, kader kesehatan, toma-toga se Kecamatan Senduro dam masyarakat luas.
7. Pelaksanaan pemicuan CLTS dan gerakan masyarakat.
8. Melaksanakan pemantauan di lapangan oleh tim fasilitator bersama anggota komite masyarakat, dibantu dinas instansi di Kecamatan Senduro
9. Menyelenggarakan deklarasi ODF Kecamatan Senduro.
Measurable (terukur / indikator keberhasilan):
Seratus prosen masyarakat berperilaku BAB di jamban.
Achievable (mengapa dapat dicapai):
1. Sudah ada desa (Desa Purworejo dan Bedayu) yang telah berhasil ODF.
2. Tidak menuntut harus membuat konstruksi jamban tertentu, konstruksi jamban sesuai dengan kemampuan dan kemauan masyarakat.
3. Ada tradisi gotong royong di masyarakat Senduro.
4. Masyarakat punya rasa harga diri, malu, jijik, takut dosa, dan solidaritas kepada sesama yang bisa dipicu.
Relevant (relevansi dengan misi puskesmas):
1. Sesuai dengan fisi pemerintah dalam bidang kesehatan, yaitu ”Menuju Masyarakat mandiri untuk Hidup Sehat”.
2. Sesuai dengan tujuan pemerintah untuk membina dan mendorong penyediaan sarana sanitasi masyarakat.
3. Sesuai dengan misi Gerbangmas, yaitu kampanye Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) serta kesehatan lingkungan.
4. Sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk melaksanakan program Sanitasi Total dan Pemasaran Sanitasi (SToPS).
5. Sesuai dengan prioritas bidang kesehatan Kecamatan Senduro untuk menurunkan angka kesakitan, termasuk dalam hal ini penyakit yang berbasis lingkungan.
Timely (rentang dan ketepatan waktu):
Mulai 1 Maret sampai 7 Juli 2008, disesuaikan dengan pelaksanaan bulan bakti gotong-royong dengan harapan mendapat semangat dan suasana kondusif akibat kampanye berbagai pihak untuk kegotongroyongan.
VI. SUMBER DAYA:
1. Sudah ada tim fasilitator SToPS / CLTS terlatih.
2. Ada Gerbangmas di semua posyandu.
3. Tidak mengharuskan konstruksi jamban tertentu sehingga bisa menggunakan material seadanya.
4. Ada bantuan dana untuk transpor konsultasi dan dana pemicuan dari tim SToP kabupaten (Rp.3,778,200)
5. Ada kegiatan lintas program yang bisa ditumpangi program ini
6. Ada potensi swadaya dan solidaritas / kegotongroyongan masyarakat
VII. KEMUNGKINAN HAMBATAN DAN PENANGGULANGANNYA:
1. Transec walk sulit dilaksanakan karena pemicuan kemungkinan lebih banyak malam hari karenya perlu diganti dengan penayanagan gambar / video setempat bagi yang tidak bisa berkumpul siang hari
2. Partisipasi tidak selalu mudah, karenanya perlu pengikutsertaan masyarakat sepenuhnya sejak awal fasilitasi dan harus diikuti pemantauan oleh komite dan dinas lintas sektor secara berkesinambungan.
3. Fasilitator mungkin akan mengalami masa-masa sulit sebelum nantinya menemukan kiat-kiat taktis sesuai situasi dan kondisi lokal sehingga harus senantiasa mendapat support dari camat dan kepala dinas instansi terkait.
VIII. DAMPAK YANG DIHARAPKAN:
1. Meningkatnya demand masyarakat akan sarana sanitasi.
2. Turunnya angka kesakitan penyakit berbasis lingkungan.
3. Mendorong tercapainya program Gerbangmas bidang PHBS dan penyehatan lingkungan.
4. Mendorong peningkatan strata desa siaga.
5. Terjadi perubahan Mind set masyarakat sehingga tidak hanya tergantung bantuan melainkan mampu berdikari
6. Meningkatnya hubungan kemitraan antara aparatur pemerintahan dengan masyarakat.
IX. JADWAL KEGIATAN:
URAIAN KEGIATAN JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL
Rapat konsolidasi
Pemetaan area & perilaku BAB
Analisa situasi & susun taktik & strategi
Susun action plan
Advokasi
Sosialisasi – bina suasana
Pemicuan CLTS dan gerakan
Pemantauan
Deklarasi kec. ODF
Catatan: Kecamatan Senduro ODF telah tercapai awal Juli 2008 dan dideklarasikan pada tanggal 8 Juli 2008 di Balai Desa Kandangan, dihadiri Bupati Lumajang dan Kepala Subdirektorat Penyehatan Air Depkes RI.
Kami buat action plan ini guna mensubstitusi POA tahunan yang ada.
Sabtu, 22 November 2008
Safari Santun Lansia ke Desa Ranupani
Sabtu, 15 Nopember 2008 safari tim santun lansia tiba ke desa yang ke sepuluh dari 12 desa Kecamatan Senduro. Safari yang diikuti dinas lintas sektor ini dimaksudkan untuk memfasilitasi terbentuknya paguyuban para lansia atau lanjut usia dalam karangwerda di semua desa.
Pengorganisasian masyarakat ini memungkinkan pemberdayaan lansia dan keluarga lansia. Di samping itu akan menjadi tempat bertemunya kontribusi lintas sektor dalam peningkatan kesejahteraan lansia sebagai mana amanat UU RI No 13 tahun 1998 dan Perda Jawa Timur No 5 tahun 2007 tentang kesejahteraan lansia. Pembentukan karangwerda itu sendiri merupakan bagian dari serangkaian kegiatan Puskesmas Santun Lansia. Santun lansia yang kami laksanakan tidak sekedar dalam bentuk pelayanan di dalam gedung, tetapi juga kegiatan luar gedung. Puskesmas Senduro akan melayani lansia ke depannya melalui empat pilar santun lansia. Keempat pilar tersebut adalah: 1. Yankes di gedung puskesmas santun lansia, 2. Pusling dan kunjungan rumah, 3. Posyandu lansia di semua dusun, dan 4. Pembinaan karangwerda di semua desa.
Desa kesepuluh yang kami kunjungi tidak lain adalah Desa Ranupani, sebuah desa terpencil nan indah yang berada di kawasan cagar alam Bromo-Tengger-Semeru. Perjalanan dari kota kecamatan ditempuh dalam satu jam dengan kendaraan roda empat (baca ambulan) melewati hutan lindung dengan prasarana jalan beraspal. Ranupani adalah sebuah desa kecil yang terdiri dari dua dusun dan jumlah penduduknya hanya 1154 jiwa. Mayoritas penduduknya adalah suku Jawa Tengger dengan tradisi yang khas layaknya masyarakat sekitar Gunung Bromo . Tepat jam 10.00 BBWI saya dan rombongan tiba di balai desa Ranupani diterima oleh kepala desa dan para stafnya. Hadir di tempat acara 40 warga setempat yang hampir semuanya adalah para lanjut usia atau disingkat lansia.
Setelah sedikit basa-basi acara fasilitasi dimulai. Sambutan sengaja kami persingkat karena kami bermaksud datang sebagai fasilitator, bukan penyuluh. Fasilitator tentunya akan lebih banyak memberi kesempatan kepada masyarakat untuk lebih berpartisipasi, bukan sekedar datang mendengarkan "lomba pidato". Meski mereka pada umumnya kurang berpendidikan formal, ternyata pertemuan berlangsung partisipatif, seru dan sukses. Acara makin hangat ketika kendali pertemuan diserahkan sepenuhnya kepada warga lansia setempat.
Dari kiri adalah saya, Kades Ranupani Thomas, Camat Senduro Susianto dan ketua TP PKK Kecamatan Senduro. Di samping itu ikut hadir juga Kepala KUA, Kasi pemberdayaan kecamatan dan Forum karangwerda kecamatan
Bu Ismail, dari forum karangwerda kecamatan sedang mensosialisasikan karangwerda dan program santun lansia. Meski sudah lansia, beliau menyampaikannya dengan bersemangat sekali.
Fasilitator sedang melakukan bina suasana pertemuan sebelum akhirnya menyerahkan kepemimpinan acara kepada lansia setempat.
Ice breacker game bisa sedikit mencairkan suasana menjadi lebih cair dan semangat.
Promkes puskesmas, Bagas Catur sedang mendampingi seorang tokoh masyarakat bernama Pak Tasrip memimpin musyawarah. Tampak Kepala desa dan Ketua TP PKK hanya tersenyum menyaksikan dari luar arena. Sama juga saya, camat dan lainnya, membiarkan semua berjalan alamiah.
Inilah gambaran dinamika pemilihan ketua karang werda langsung.
Sedang menyusun rencana tindak lanjut
Santai di seputaran Desa Ranupani setelah acara fasilitasi
Di bawah sana adalah jalan menuju lautan pasir Bromo
Mejeng bareng para fasilitator
Bukan markas Tele tubbies lho
Pengorganisasian masyarakat ini memungkinkan pemberdayaan lansia dan keluarga lansia. Di samping itu akan menjadi tempat bertemunya kontribusi lintas sektor dalam peningkatan kesejahteraan lansia sebagai mana amanat UU RI No 13 tahun 1998 dan Perda Jawa Timur No 5 tahun 2007 tentang kesejahteraan lansia. Pembentukan karangwerda itu sendiri merupakan bagian dari serangkaian kegiatan Puskesmas Santun Lansia. Santun lansia yang kami laksanakan tidak sekedar dalam bentuk pelayanan di dalam gedung, tetapi juga kegiatan luar gedung. Puskesmas Senduro akan melayani lansia ke depannya melalui empat pilar santun lansia. Keempat pilar tersebut adalah: 1. Yankes di gedung puskesmas santun lansia, 2. Pusling dan kunjungan rumah, 3. Posyandu lansia di semua dusun, dan 4. Pembinaan karangwerda di semua desa.
Desa kesepuluh yang kami kunjungi tidak lain adalah Desa Ranupani, sebuah desa terpencil nan indah yang berada di kawasan cagar alam Bromo-Tengger-Semeru. Perjalanan dari kota kecamatan ditempuh dalam satu jam dengan kendaraan roda empat (baca ambulan) melewati hutan lindung dengan prasarana jalan beraspal. Ranupani adalah sebuah desa kecil yang terdiri dari dua dusun dan jumlah penduduknya hanya 1154 jiwa. Mayoritas penduduknya adalah suku Jawa Tengger dengan tradisi yang khas layaknya masyarakat sekitar Gunung Bromo . Tepat jam 10.00 BBWI saya dan rombongan tiba di balai desa Ranupani diterima oleh kepala desa dan para stafnya. Hadir di tempat acara 40 warga setempat yang hampir semuanya adalah para lanjut usia atau disingkat lansia.
Setelah sedikit basa-basi acara fasilitasi dimulai. Sambutan sengaja kami persingkat karena kami bermaksud datang sebagai fasilitator, bukan penyuluh. Fasilitator tentunya akan lebih banyak memberi kesempatan kepada masyarakat untuk lebih berpartisipasi, bukan sekedar datang mendengarkan "lomba pidato". Meski mereka pada umumnya kurang berpendidikan formal, ternyata pertemuan berlangsung partisipatif, seru dan sukses. Acara makin hangat ketika kendali pertemuan diserahkan sepenuhnya kepada warga lansia setempat.
Dari kiri adalah saya, Kades Ranupani Thomas, Camat Senduro Susianto dan ketua TP PKK Kecamatan Senduro. Di samping itu ikut hadir juga Kepala KUA, Kasi pemberdayaan kecamatan dan Forum karangwerda kecamatan
Bu Ismail, dari forum karangwerda kecamatan sedang mensosialisasikan karangwerda dan program santun lansia. Meski sudah lansia, beliau menyampaikannya dengan bersemangat sekali.
Fasilitator sedang melakukan bina suasana pertemuan sebelum akhirnya menyerahkan kepemimpinan acara kepada lansia setempat.
Ice breacker game bisa sedikit mencairkan suasana menjadi lebih cair dan semangat.
Promkes puskesmas, Bagas Catur sedang mendampingi seorang tokoh masyarakat bernama Pak Tasrip memimpin musyawarah. Tampak Kepala desa dan Ketua TP PKK hanya tersenyum menyaksikan dari luar arena. Sama juga saya, camat dan lainnya, membiarkan semua berjalan alamiah.
Inilah gambaran dinamika pemilihan ketua karang werda langsung.
Sedang menyusun rencana tindak lanjut
Santai di seputaran Desa Ranupani setelah acara fasilitasi
Di bawah sana adalah jalan menuju lautan pasir Bromo
Mejeng bareng para fasilitator
Bukan markas Tele tubbies lho
Label:
karangwerda,
pemberdayaan,
ranupani,
santun lansia
Rabu, 19 November 2008
Desa Siaga Purworejo Menerima Kunjungan Studi Banding Dinkes Propinsi Kalbar
Desa Siaga Sayang Bunda Desa Purworejo 19 Nopember 2008 menerima tamu studi banding dari Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Barat. Tamu diterima di Posyandu Gerbangmas Kartini yang sekaligus sebagai sekretariat forum desa siaga.
Rombongan tamu berjumlah sebelas orang dipimpin Bapak Isman yang sekaligus Kepala Bidang P2PL Dinkes Propinsi Kalimantan Barat.
Ny.Suhentini menyampaikan paparan tentang Desa Siaga dan kegiatan Gerbangmas di Desa Purworejo Kecamatan Senduro
Ketua rombongan menyerahkan cindera mata kepada Bapak Adim, Kepala Desa Purworejo.
Para kader desa siaga dan Gerbangmas hadir lengkap dan foto bersama dengan tamu dan tim dari Puskesmas Senduro
Rombongan tamu berjumlah sebelas orang dipimpin Bapak Isman yang sekaligus Kepala Bidang P2PL Dinkes Propinsi Kalimantan Barat.
Ny.Suhentini menyampaikan paparan tentang Desa Siaga dan kegiatan Gerbangmas di Desa Purworejo Kecamatan Senduro
Ketua rombongan menyerahkan cindera mata kepada Bapak Adim, Kepala Desa Purworejo.
Para kader desa siaga dan Gerbangmas hadir lengkap dan foto bersama dengan tamu dan tim dari Puskesmas Senduro
Label:
desa siaga,
gerbangmas,
lumajang,
posyandu,
Purworejo,
senduro
Senin, 17 November 2008
Pedoman Pemicuan Masyarakat ala CLTS untuk PSN-DBD
Inilah pedoman pemicuan ala CLTS untuk gerakan siaga DBD Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang. Dengan harapan menjadi sebuah pedoman pemberdayaan masyarakat yang sederhana bagi para fasilitator. Pedoman dibuat tidak sampai pada detil kegiatan dengan maksud agar dapat mengakomodasi dan merangsang inovasi di lapangan.
KEGIATAN SEBELUM PEMICUAN:
1.Pendataan oleh petugas pembina desa (kasus DBD, hasil pemeriksaan jentik, PSN yang sudah dilaksanakan, keterlibatan masyarakat, geografi, demografi, budaya/tradisi, kelompok potensial, tokoh-tokoh kunci di masyarakat, dll).
2.Advokasi terhadap stakeholder pemerintah maupun non pemerintah (kades, bu kades, ketua RT/RW, toma, toga, LSM, pengusaha setempat, forum desa siaga, dll)
3.Bina suasana (kampanye penanggulangan DBD di posyandu atau kelompok potensial atau cara lainnya).
KEGIATAN SAAT PEMICUAN:
1.Bina suasana pertemuan (perkenalan, penyampaian tujuan kegiatan, hubungan sejajar, tidak menggurui, tidak memerintah)
2.Transec walk (bersama semua yang hadir mengunjungi penderita DBD atau pernah DBD, dan pemeriksaan jentik)
3.Pemetaan (peta penderita, rumah positif jentik), pemetaan dapat dilakukan di tanah halaman rumah warga atau pada kertas sesuai keadaan.
4.Analisa partisipatif melalui diskusi kelompok (bahayanya DBD, penyebab, bisakah dicegah, siapa yang bertanggunmg jawab untuk PSN, satu rumah saja positif jentik apakah membahayakan orang lain termasuk yang rumahmnya bersih, apa yang sudah dilakukan masyarakat, perlukah kebersamaan untuk mengatasinya, dll)
5.Pemicuan (memicu sehingga mereka/masyarakat mau dan berjanji mengambil tanggungjawab penuh dalam pemeriksaan jentik berkala dan PSN)
6.Membuat kesepakatan-kesepakatan (siapa pemeriksa jentiknya, penandaan rumah, sanksi bagi yang berturut-turut rumahnya ada jentik, pendanaan kegiatan, dan lain-lain)
7.Menyusun rencana kegiatan (jadwal pemeriksaan jentik dan PSN dengan 3M plus, rencana pertemuan bulanan di tingkat dusun/wilayah posyandu untuk monev).
8.Membentuk komite masyarakat (minimal masyarakat menunjuk seorang penanggungjawab kegiatan yang nantinya menjadi bagian organisasi desa siaga).
9.Kesepakatan siapa yang berwenang menjadi pengawas kegiatan, bisa ketua komite atau tokoh lain yang mereka segani.
KEGIATAN PASCA PEMICUAN:
1.Pemantauan oleh masyarakat sendiri sesuai kesepakatan.
2.Pemantauan oleh petugas kesehatan sesuai program.
CATATAN:
1.Pemeriksa jentik di tiap RT sebaiknya dari unsur masyarakat non kader posyandu, sedang kader posyandu memfasilitasi, merekapitulasi hasil dan membantu memantau pelaksanaan pemeriksaan jentik dan 3M-Plus.
2.Pemicuan tidak mesti berurutan seperti di atas, yang penting masyarakat terpicu dan bisa membuat rencana tindak lanjut berdasar kesepakatan mereka sendiri.
3.Semua kegiatan dilaksanakan secara partisipatory.
4.Masyarakat boleh menamai kegiatannya itu menurut selera setempat, misalnya "Siaga DBD" untuk gerakannya dan "pasukan uge-uget" untuk juru pemantau jentiknya.
KEGIATAN SEBELUM PEMICUAN:
1.Pendataan oleh petugas pembina desa (kasus DBD, hasil pemeriksaan jentik, PSN yang sudah dilaksanakan, keterlibatan masyarakat, geografi, demografi, budaya/tradisi, kelompok potensial, tokoh-tokoh kunci di masyarakat, dll).
2.Advokasi terhadap stakeholder pemerintah maupun non pemerintah (kades, bu kades, ketua RT/RW, toma, toga, LSM, pengusaha setempat, forum desa siaga, dll)
3.Bina suasana (kampanye penanggulangan DBD di posyandu atau kelompok potensial atau cara lainnya).
KEGIATAN SAAT PEMICUAN:
1.Bina suasana pertemuan (perkenalan, penyampaian tujuan kegiatan, hubungan sejajar, tidak menggurui, tidak memerintah)
2.Transec walk (bersama semua yang hadir mengunjungi penderita DBD atau pernah DBD, dan pemeriksaan jentik)
3.Pemetaan (peta penderita, rumah positif jentik), pemetaan dapat dilakukan di tanah halaman rumah warga atau pada kertas sesuai keadaan.
4.Analisa partisipatif melalui diskusi kelompok (bahayanya DBD, penyebab, bisakah dicegah, siapa yang bertanggunmg jawab untuk PSN, satu rumah saja positif jentik apakah membahayakan orang lain termasuk yang rumahmnya bersih, apa yang sudah dilakukan masyarakat, perlukah kebersamaan untuk mengatasinya, dll)
5.Pemicuan (memicu sehingga mereka/masyarakat mau dan berjanji mengambil tanggungjawab penuh dalam pemeriksaan jentik berkala dan PSN)
6.Membuat kesepakatan-kesepakatan (siapa pemeriksa jentiknya, penandaan rumah, sanksi bagi yang berturut-turut rumahnya ada jentik, pendanaan kegiatan, dan lain-lain)
7.Menyusun rencana kegiatan (jadwal pemeriksaan jentik dan PSN dengan 3M plus, rencana pertemuan bulanan di tingkat dusun/wilayah posyandu untuk monev).
8.Membentuk komite masyarakat (minimal masyarakat menunjuk seorang penanggungjawab kegiatan yang nantinya menjadi bagian organisasi desa siaga).
9.Kesepakatan siapa yang berwenang menjadi pengawas kegiatan, bisa ketua komite atau tokoh lain yang mereka segani.
KEGIATAN PASCA PEMICUAN:
1.Pemantauan oleh masyarakat sendiri sesuai kesepakatan.
2.Pemantauan oleh petugas kesehatan sesuai program.
CATATAN:
1.Pemeriksa jentik di tiap RT sebaiknya dari unsur masyarakat non kader posyandu, sedang kader posyandu memfasilitasi, merekapitulasi hasil dan membantu memantau pelaksanaan pemeriksaan jentik dan 3M-Plus.
2.Pemicuan tidak mesti berurutan seperti di atas, yang penting masyarakat terpicu dan bisa membuat rencana tindak lanjut berdasar kesepakatan mereka sendiri.
3.Semua kegiatan dilaksanakan secara partisipatory.
4.Masyarakat boleh menamai kegiatannya itu menurut selera setempat, misalnya "Siaga DBD" untuk gerakannya dan "pasukan uge-uget" untuk juru pemantau jentiknya.
Label:
CLTS,
DBD,
komite masyarakat,
lumajang,
pemberdayaan masyarakat,
senduro
Jumat, 14 November 2008
Bila Bina Suasana Baik maka Partisipasi Masyarakat Akan Lebih Mudah
Bina suasana yang baik sangat berguna untuk petugas puskesmas dalam membina partisipasi masyarakat melalui UKBM (Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat), termasuk CLTS dan program pemberdayaan lainnya.
Melaksanakan program UKBM gampang-gampang susah. Kalau partisipasi masyarakatnya baik maka semua pekerjaan jadi mudah. Bahkan UKBM-UKBM akan menjadi semacam saluran pemasaran bagi program kesehatan yang kita tawarkan. Tetapi bila situasi yang terjadi sebaliknya, dimana partisipasi masyarakat rendah maka semuanya harus kita lakukan sendiri. Bukan saja program kesehatan tidak terbantu, tetapi UKBM-nya itu sendiri akan menjadi beban tersendiri bagi petugas lapangan untuk menghidupinya.
Saya tertarik menulis posting ini karena semua orang kesehatan pada umumnya sepakat bahwa paritisipasi masyarakat adalah kunci keberhasilan UKM (upaya kesehatan masyarakat) di puskesmas. Tetapi justru partisipasi inilah yang paling sering saya dengar dikeluhkan sulit oleh orang puskesmas. Banyak diantara tamu dari berbagai daerah yang pernah studi banding di tempat saya juga mengeluhkan hal yang sama. Beberapa alasan dikemukakan, mulai dari tingkat ekonomi rendah, pendidikan rendah, geografi luas dan terpencil, transportasi sulit, jumlah penduduk yang terlalu banyak bahkan menyebut etnis tertentu sebagai etnis yang memang tidak bisa diajak berubah.
Mungkin sederet alasan yang dikemukakan tersebut ada benarnya. Tetapi anehnya kondisi kebalikannya sering saya dengar juga menjadi alasan pembenar mengapa partisipasi masyarakat tidak seperti yang diharapkan. Ternyata beberapa orang mengeluhkan bahwa mereka sulit menarik partisipasi karena masyarakatnya adalah orang-orang elit yang kaya sehingga sulit diajak kerja sama, pinter-pinter sehingga sulit diberi tahu, desanya sudah maju sehingga sulit diajak gotong royong untuk misalnya membentuk desa siaga. Jadi aneh karena kondisi dan situasi apapun menjadi (baca: dianggap) hambatan. Dan yang disalahkan selalu masyarakat. Kondisi masyarakatlah yang dianggap menyebabkan program yang berbasis masyarakat tidak berhasil. Pertanyaannya adalah: Apakah sudah dicoba menggarap satu dusun saja bila desanya luas, menggarap satu komunitas kecil saja dulu bila penduduknya sangat banyak, biarkan mereka yang bicara dan bukan kita yang pidato kalau masyarakatnya pinter-pinter. Kalau suatu entis tertentu sulit difasilitasi lalu mengapa di tempat lain berhasil menggarap etnis yang sama?
Akan lebih baik bila penyebab kegagalan menggerakkan masyarakat lebih diarahkan ke diri petugas sendiri. Masyarakat mana saja ada kecenderungan tidak mau repot, tidak mau ruwet, tapi mau enak. Makanya perlu ada petugas yang harus melayani dan memfasilitasi mereka. Di tempat yang sekarang partisipasi masyarakatnya baik sebenarnya juga pernah memiliki masa-masa sulit di awalnya. Kemudahan tidak tiba-tiba datang dari langit dan semua orang menurut saja pada petugas. Sama saja, di tempat manapun perlu proses untuk mencapai keadaan seperti yang diinginkan. Kalau kita datang ke orang lain hanya saat butuh saja dan setelah itu tidak acuh lagi, tentunya sulit berharap terlalu banyak partisipasi dari orang tersebut.
Suatu ketika pernah saya melihat pemicuan CLTS oleh fasilitator desa yang didampingi fasilitator kecamatan di sebuah dusun Desa Wonocempokoayu Kecamatan Senduro. Masyarakat yang hadir ada sekitar 80-an orang yang terdiri laki-laki, perempuan, tua, muda dan bahkan anak-anak dari berbagai lapisan di dusun tersebut. Semua proses tampak sangat lancar dan sukses, diskusi berlangsung partisipatif, banyak yang mengajukan usul, bahkan kadang berdebat seru di antara mereka. Fasilitator sesekali mengeluarkan ice breaker game andalannya, mereka tampak bersemangat, gembira bahkan ada yel-yel dan nyanyian tentang CLTS segala. Kemudian acara ditutup dengan sederet kesepakatan membuat dan menggunakan jamban.
Satu bulan kemudian saya mendapat laporan ternyata masyarakat tersebut di atas tetap tidak berubah, belum membuat jamban dan masih BAB di tegalan, dibalik semak-semak belakang rumah atau kotorannya dilempar saja ke curah/jurang dekat rumah. Hanya sedikit sekali yang memenuhi janji sebagaimana yang disepakati ketika pemicuan. Jadi? Mereka datang sekedar memenuhi undangan kepala dusun setempat yang mereka segani. Mereka tertawa-tawa saat pemicuan karena fasilitatornya memang lucu. Mereka bernyanyi-nyanyi karena ingin mengimbangi fasilitator yang gemar bernyanyi, apa lagi lagunya kocak juga. Mereka terpaksa berjanji membuat jamban hanya karena tidak sanggup berkata tidak saat ditanya kesediaan oleh fasilitator kecamatan yang jauh-jauh telah sudi datang ke dusunnya. Lho?
Jadi para fasilitator sesungguhnya tidak tahu apa yang ada di benak masyarakat di balik apa yang terlihat kasat mata saat itu, kata orang Jawa kecele. Orang-orang yang datang tetap pada pendiriannya yang semula. Masyarakat masih tetap yakin akan pendirian dan tradisi BAB-nya. Apanya yang salah, kenapa orang lain yang usil, toh dari dulu tidak apa-apa. Kira-kira begitulah yang ada di benak sebagian besar orang yang menghadiri pemicuan kala itu. Kalau begitu mana mungkin fasilitator dapat "menguasainya". Mereka hanya melakukan bina suasana untuk kelancaran pertemuan saja. Bukan bina suasana yang merupakan strategi memenangkan opini.
Pengertian bina suasana mungkin berbeda-beda, tapi yang saya maksudkan di sini adalah serangkaian ucapan, bahasa tubuh, sikap dan tindakan yang kita lakukan yang ditujukan agar berpengaruh positif terhadap opini dan sikap individu, keluarga dan masyarakat terhadap diri kita dan program yang sedang kita tawarkan. Dari definisi ini sekarang bisa dimengerti mengapa ada petugas tertentu mudah berpromosi kepada masyarakat sedang yang lain susahnya bukan main. Keberhasilannya tidak hanya tergantung bina suasana sesaat tapi dipengaruhi bina suasana jangka panjang yang pernah kita lakukan. Bina suasana yang baik dan mengena akan memberi kontribusi besar terhadap promosi program yang kita tawarkan.
Sekarang sudah jaman demokrasi, tidak mudah petugas mendikte apalagi memaksa masyarakat mengikutinya. Pada umumnya orang hanya akan melakukan apa yang mereka sukai dan yang mereka pikir menguntungkan. Mudah dipahami bahwa esensi bina suasana sebenarnya berada pada area perang opini. Dan kita hanya bisa menang kalau kita tahu apa yang ada di benak mereka. Itu hanya bisa dicapai kalau benar-nenar mengenali masyarakat dengan segala aspeknya secara cermat dan menguasai medannya. Menang berarti masyarakat telah berpikir atau berpendapat sebagaimana arah opini atau pendapat yang kita bangun. Ingat bukan, orang hanya akan melakukan apa yang menurut benak mereka baik atau menguntungkan.
Tapi jangan salah, perang opini yang saya maksud bukan untuk menang-menangan. Bagaimanapun kita tetap harus responsive terhadap aspirasi yang bergulir. Yang kita lakukan adalah pemberdayaan masyarakat. Yang kita tuju adalah kemandirian masyarakat. Kita memfasilitasi mereka untuk memahami masalah mereka sendiri, mencari dan menjalankan pemecahannya dan untuk kehidupan mereka sendiri. Perang opini dalam pemberdayaan tidak identik dengan mendominasi keinginan masyarakat.
Sebelum menetapkan cara dan media bina suasana, pertimbangkan dulu kemana opini masyarakat akan kita giring. Kalau sudah maka kita bisa memutuskaan pesan apa yang akan kita buat. Mungkin perlu juga menyusunnya dalam betuk slogan atau yel-yel atau nyanyian. Dan kemudian kita pilih saluran komunikasi mana yang akan kita pakai. Asal pidato saja, atau asal buat spanduk, atau asal buat brosur saja, tidak termasuk ke dalam pengertian bina suasana. Banyak cara dan saluran yang bisa dipilih untuk bina suasana, misalnya rapat sosialisasi, menyebarkan pesan melalui saluran komunikasi berupa brosur, spanduk, radio, dan lain-lain. Bisa saja dengan merekrut tokoh masyarakat atau tokoh agama menjadi model atau semacam duta untuk menjadi teladan. Apapun bisa dilakukan, yang penting sudah melalui analisa yang mendalam sehingga sesuai dengan situasi setempat. Adapun masalah taktik pelaksanaan di lapangan tentunya tidak perlu kaku. Biarkan petugas berkreasi guna menyesuaikan dengan situasi dan kondisi lokal.
Salah satu bagian tidak terpisahkan dalam bina suasana adalah citra diri petugas. Yaitu bagaimana kita menilai diri kita sebagaimana orang lain menilai. Citra diri bisa dikembangkan dan tentu akan berpengaruh positif terhadap personal branding. Selanjutnya Image dan merek diri amat berpengaruh pada penerimaan masyarakat terhadap apa saja yang kita bawa untuk mereka. Jadi mereka mau atau tidak sangat tergantung kita juga. Jangan mengajak orang jadi donatur bila kita dikenal tidak terbuka masalah uang. Jangan mengajak orang lain berperilaku hidup sehat kalau kita suka merokok di tempat umum. Jangan mengajak orang optimis pada suatu hal kalau kita selalu gagal akan hal itu. Dan jangan… jangan … dan seterusnya.
Bagaimana bila anda kurang percaya diri terhadap personal branding anda? Tidak usah berkecil hati. Sambil tetap mengembangkan citra diri anda bisa melakukan bina suasana dengan membuat networking. Jadi anda tidak sendiri melakukannya, melainkan dengan anggota jaringan. Membuat jaringan bina suasana sangat penting dalam pemberdayaan masyarakat. Network pemasaran barang sudah lama kita kenal, termasuk juga multi level marketing. Bahkan preman saja bisa bekerja memanfaatkan jaringan, masak kita tidak bisa? Untuk membuat jaringan bina suasana yang kita butuhkan adalah kemampuan advokasi yang nantinya akan saya posting tersendiri.
Mungkin secara teori apa yang saya kemukakan kurang bermutu, maka saya butuh koreksi para pembaca. Posting ini dibuat hanya dengan berbekal sedikit teori tapi sudah melalui trial and error yang pernah saya alami sebagai Kepala Puskesmas Senduro dan sebelumnya Puskesmas Gucialit Kabupaten Lumajang Jawa Timur. Mungkin Anda punya pendapat lain maka saya juga akan belajar dari Anda, silakan tinggalkan komentar.
Melaksanakan program UKBM gampang-gampang susah. Kalau partisipasi masyarakatnya baik maka semua pekerjaan jadi mudah. Bahkan UKBM-UKBM akan menjadi semacam saluran pemasaran bagi program kesehatan yang kita tawarkan. Tetapi bila situasi yang terjadi sebaliknya, dimana partisipasi masyarakat rendah maka semuanya harus kita lakukan sendiri. Bukan saja program kesehatan tidak terbantu, tetapi UKBM-nya itu sendiri akan menjadi beban tersendiri bagi petugas lapangan untuk menghidupinya.
Saya tertarik menulis posting ini karena semua orang kesehatan pada umumnya sepakat bahwa paritisipasi masyarakat adalah kunci keberhasilan UKM (upaya kesehatan masyarakat) di puskesmas. Tetapi justru partisipasi inilah yang paling sering saya dengar dikeluhkan sulit oleh orang puskesmas. Banyak diantara tamu dari berbagai daerah yang pernah studi banding di tempat saya juga mengeluhkan hal yang sama. Beberapa alasan dikemukakan, mulai dari tingkat ekonomi rendah, pendidikan rendah, geografi luas dan terpencil, transportasi sulit, jumlah penduduk yang terlalu banyak bahkan menyebut etnis tertentu sebagai etnis yang memang tidak bisa diajak berubah.
Mungkin sederet alasan yang dikemukakan tersebut ada benarnya. Tetapi anehnya kondisi kebalikannya sering saya dengar juga menjadi alasan pembenar mengapa partisipasi masyarakat tidak seperti yang diharapkan. Ternyata beberapa orang mengeluhkan bahwa mereka sulit menarik partisipasi karena masyarakatnya adalah orang-orang elit yang kaya sehingga sulit diajak kerja sama, pinter-pinter sehingga sulit diberi tahu, desanya sudah maju sehingga sulit diajak gotong royong untuk misalnya membentuk desa siaga. Jadi aneh karena kondisi dan situasi apapun menjadi (baca: dianggap) hambatan. Dan yang disalahkan selalu masyarakat. Kondisi masyarakatlah yang dianggap menyebabkan program yang berbasis masyarakat tidak berhasil. Pertanyaannya adalah: Apakah sudah dicoba menggarap satu dusun saja bila desanya luas, menggarap satu komunitas kecil saja dulu bila penduduknya sangat banyak, biarkan mereka yang bicara dan bukan kita yang pidato kalau masyarakatnya pinter-pinter. Kalau suatu entis tertentu sulit difasilitasi lalu mengapa di tempat lain berhasil menggarap etnis yang sama?
Akan lebih baik bila penyebab kegagalan menggerakkan masyarakat lebih diarahkan ke diri petugas sendiri. Masyarakat mana saja ada kecenderungan tidak mau repot, tidak mau ruwet, tapi mau enak. Makanya perlu ada petugas yang harus melayani dan memfasilitasi mereka. Di tempat yang sekarang partisipasi masyarakatnya baik sebenarnya juga pernah memiliki masa-masa sulit di awalnya. Kemudahan tidak tiba-tiba datang dari langit dan semua orang menurut saja pada petugas. Sama saja, di tempat manapun perlu proses untuk mencapai keadaan seperti yang diinginkan. Kalau kita datang ke orang lain hanya saat butuh saja dan setelah itu tidak acuh lagi, tentunya sulit berharap terlalu banyak partisipasi dari orang tersebut.
Suatu ketika pernah saya melihat pemicuan CLTS oleh fasilitator desa yang didampingi fasilitator kecamatan di sebuah dusun Desa Wonocempokoayu Kecamatan Senduro. Masyarakat yang hadir ada sekitar 80-an orang yang terdiri laki-laki, perempuan, tua, muda dan bahkan anak-anak dari berbagai lapisan di dusun tersebut. Semua proses tampak sangat lancar dan sukses, diskusi berlangsung partisipatif, banyak yang mengajukan usul, bahkan kadang berdebat seru di antara mereka. Fasilitator sesekali mengeluarkan ice breaker game andalannya, mereka tampak bersemangat, gembira bahkan ada yel-yel dan nyanyian tentang CLTS segala. Kemudian acara ditutup dengan sederet kesepakatan membuat dan menggunakan jamban.
Satu bulan kemudian saya mendapat laporan ternyata masyarakat tersebut di atas tetap tidak berubah, belum membuat jamban dan masih BAB di tegalan, dibalik semak-semak belakang rumah atau kotorannya dilempar saja ke curah/jurang dekat rumah. Hanya sedikit sekali yang memenuhi janji sebagaimana yang disepakati ketika pemicuan. Jadi? Mereka datang sekedar memenuhi undangan kepala dusun setempat yang mereka segani. Mereka tertawa-tawa saat pemicuan karena fasilitatornya memang lucu. Mereka bernyanyi-nyanyi karena ingin mengimbangi fasilitator yang gemar bernyanyi, apa lagi lagunya kocak juga. Mereka terpaksa berjanji membuat jamban hanya karena tidak sanggup berkata tidak saat ditanya kesediaan oleh fasilitator kecamatan yang jauh-jauh telah sudi datang ke dusunnya. Lho?
Jadi para fasilitator sesungguhnya tidak tahu apa yang ada di benak masyarakat di balik apa yang terlihat kasat mata saat itu, kata orang Jawa kecele. Orang-orang yang datang tetap pada pendiriannya yang semula. Masyarakat masih tetap yakin akan pendirian dan tradisi BAB-nya. Apanya yang salah, kenapa orang lain yang usil, toh dari dulu tidak apa-apa. Kira-kira begitulah yang ada di benak sebagian besar orang yang menghadiri pemicuan kala itu. Kalau begitu mana mungkin fasilitator dapat "menguasainya". Mereka hanya melakukan bina suasana untuk kelancaran pertemuan saja. Bukan bina suasana yang merupakan strategi memenangkan opini.
Pengertian bina suasana mungkin berbeda-beda, tapi yang saya maksudkan di sini adalah serangkaian ucapan, bahasa tubuh, sikap dan tindakan yang kita lakukan yang ditujukan agar berpengaruh positif terhadap opini dan sikap individu, keluarga dan masyarakat terhadap diri kita dan program yang sedang kita tawarkan. Dari definisi ini sekarang bisa dimengerti mengapa ada petugas tertentu mudah berpromosi kepada masyarakat sedang yang lain susahnya bukan main. Keberhasilannya tidak hanya tergantung bina suasana sesaat tapi dipengaruhi bina suasana jangka panjang yang pernah kita lakukan. Bina suasana yang baik dan mengena akan memberi kontribusi besar terhadap promosi program yang kita tawarkan.
Sekarang sudah jaman demokrasi, tidak mudah petugas mendikte apalagi memaksa masyarakat mengikutinya. Pada umumnya orang hanya akan melakukan apa yang mereka sukai dan yang mereka pikir menguntungkan. Mudah dipahami bahwa esensi bina suasana sebenarnya berada pada area perang opini. Dan kita hanya bisa menang kalau kita tahu apa yang ada di benak mereka. Itu hanya bisa dicapai kalau benar-nenar mengenali masyarakat dengan segala aspeknya secara cermat dan menguasai medannya. Menang berarti masyarakat telah berpikir atau berpendapat sebagaimana arah opini atau pendapat yang kita bangun. Ingat bukan, orang hanya akan melakukan apa yang menurut benak mereka baik atau menguntungkan.
Tapi jangan salah, perang opini yang saya maksud bukan untuk menang-menangan. Bagaimanapun kita tetap harus responsive terhadap aspirasi yang bergulir. Yang kita lakukan adalah pemberdayaan masyarakat. Yang kita tuju adalah kemandirian masyarakat. Kita memfasilitasi mereka untuk memahami masalah mereka sendiri, mencari dan menjalankan pemecahannya dan untuk kehidupan mereka sendiri. Perang opini dalam pemberdayaan tidak identik dengan mendominasi keinginan masyarakat.
Sebelum menetapkan cara dan media bina suasana, pertimbangkan dulu kemana opini masyarakat akan kita giring. Kalau sudah maka kita bisa memutuskaan pesan apa yang akan kita buat. Mungkin perlu juga menyusunnya dalam betuk slogan atau yel-yel atau nyanyian. Dan kemudian kita pilih saluran komunikasi mana yang akan kita pakai. Asal pidato saja, atau asal buat spanduk, atau asal buat brosur saja, tidak termasuk ke dalam pengertian bina suasana. Banyak cara dan saluran yang bisa dipilih untuk bina suasana, misalnya rapat sosialisasi, menyebarkan pesan melalui saluran komunikasi berupa brosur, spanduk, radio, dan lain-lain. Bisa saja dengan merekrut tokoh masyarakat atau tokoh agama menjadi model atau semacam duta untuk menjadi teladan. Apapun bisa dilakukan, yang penting sudah melalui analisa yang mendalam sehingga sesuai dengan situasi setempat. Adapun masalah taktik pelaksanaan di lapangan tentunya tidak perlu kaku. Biarkan petugas berkreasi guna menyesuaikan dengan situasi dan kondisi lokal.
Salah satu bagian tidak terpisahkan dalam bina suasana adalah citra diri petugas. Yaitu bagaimana kita menilai diri kita sebagaimana orang lain menilai. Citra diri bisa dikembangkan dan tentu akan berpengaruh positif terhadap personal branding. Selanjutnya Image dan merek diri amat berpengaruh pada penerimaan masyarakat terhadap apa saja yang kita bawa untuk mereka. Jadi mereka mau atau tidak sangat tergantung kita juga. Jangan mengajak orang jadi donatur bila kita dikenal tidak terbuka masalah uang. Jangan mengajak orang lain berperilaku hidup sehat kalau kita suka merokok di tempat umum. Jangan mengajak orang optimis pada suatu hal kalau kita selalu gagal akan hal itu. Dan jangan… jangan … dan seterusnya.
Bagaimana bila anda kurang percaya diri terhadap personal branding anda? Tidak usah berkecil hati. Sambil tetap mengembangkan citra diri anda bisa melakukan bina suasana dengan membuat networking. Jadi anda tidak sendiri melakukannya, melainkan dengan anggota jaringan. Membuat jaringan bina suasana sangat penting dalam pemberdayaan masyarakat. Network pemasaran barang sudah lama kita kenal, termasuk juga multi level marketing. Bahkan preman saja bisa bekerja memanfaatkan jaringan, masak kita tidak bisa? Untuk membuat jaringan bina suasana yang kita butuhkan adalah kemampuan advokasi yang nantinya akan saya posting tersendiri.
Mungkin secara teori apa yang saya kemukakan kurang bermutu, maka saya butuh koreksi para pembaca. Posting ini dibuat hanya dengan berbekal sedikit teori tapi sudah melalui trial and error yang pernah saya alami sebagai Kepala Puskesmas Senduro dan sebelumnya Puskesmas Gucialit Kabupaten Lumajang Jawa Timur. Mungkin Anda punya pendapat lain maka saya juga akan belajar dari Anda, silakan tinggalkan komentar.
Label:
bina suasana,
CLTS,
partisipasi,
puskesmas,
UKBM
Kamis, 13 November 2008
Dari CLTS Jamban ke Pemicuan Penanggulangan DBD
CLTS (Community-Led Total Sanitation) untuk stop BAB sembarangan sudah biasa kita dengar. Kini telah kami coba menerapkan metode CLTS itu untuk memicu partisipasi masyarakat menanggulangi DBD (terutama PSN dengan 3M-plus). Ternyata PSN melalui pemicuan ala CLTS ini partisipasinya memang luar biasa.
Metode pemberdayaan masyarakat yang dikenal dengan CLTS sudah terbukti sangat efektif. Dengan metode ini masyarakat se-Kecamatan Senduro yang terdiri dari 12 desa telah merdeka dari perilaku buang air besar sembarangan. Tidak hanya itu, tahun lalu Kecamatan Gucialit yang letaknya bersebelahan dengan Senduro telah lebih dahulu merdeka dari perilaku buang air besar tidak sehat juga dengan metode yang sama.
Sesuatu yang khas pada CLTS ialah kegiatan pemicuan terhadap masyarakat. Bila dilaksanakan dengan baik ternyata pemicuan tersebut mampu mengangkat kesadaran masyarakat untuk mengambil tanggung jawab penuh dalam hal sanitasi total. Upaya subsidi penuh oleh pemerintah, stimulan pembuatan jamban, serta penyuluhan konvensional sudah biasa dilakukan. Tetapi puluhan tahun upaya tersebut ternyata belum mampu memerdekakan masyarakat dari buang air besar sembarangan. Ternyata dengan CLTS, perubahan bisa tercapai lebih cepat. Tidak perlu menunggu berpuluh tahun, cukup beberapa minggu perdusun sudah 100% BAB di jamban.
Karena itulah maka kami terinspirasi melakukan metode yang sama untuk kegiatan penanggulangan DBD. Kegiatan PSN tidak lagi berdasar instruksi dari atas tetapi benar-benar buttom up. Selama ini PSN lebih banyak dikomando oleh pemerintah atau sektor terkait melalui gerakan yang bersifat top down. Dan ternyata kasus DBD tidak berkurang, malah ada kecenderungan dari tahun ke tahun meningkat. Di jaman di mana masyarakat sudah tidak takut pada penguasa tentunya lebih sulit untuk memastikan masyarakat selalu menuruti instruksi dari atas yang dalam hal ini antara lain instruksi melaksanakan PSN. Karenanya, hanya kesadaran masyarakatlah kunci keberhasilan PSN. PSN serentak tidak mungkin terlaksana berkelanjutan sepanjang tahun kecuali atas prakarsa dari masyarakat sendiri. Dan kita semua tahu kalau sifat serentak dan berkelanjutan sepanjang tahun dalam PSN adalah kunci keberhasilan penggulangan DBD. Itulah mengapa harus buttom up.
Kami percaya bahwa masyarakat desa bisa mengerti dan memahami keadaan dan kebutuhan mereka sendiri. Bahkan mungkin lebih mengerti dari pada petugas kita. Biarkan warga bermusyawarah merencanakannya sendiri, melaksanakan dan menilainya sendiri tentang berbagai upaya yang dianggap perlu. Mereka pasti bisa karena mereka pasti memiliki kapabilitas dan solidaritas untuk itu. Dengan begitu, petugas kesehatan dan dinas lintas sektor tinggal berperan sebagai fasilitator saja.
Program penanggulangan DBD dengan metode pemicuan ala CLTS di Kecamatan Senduro telah dimulai oleh masyarakat tiga dusun endemis DBD di Desa Purworejo, Sarikemuning dan Senduro. Dengan dukungan penuh Muspika dan pemerintah desa kami melakukan pemicuan di ketiga dusun tersebut. Kegiatan dimulai dengan melakukan survey lapangan bersama masyarakat terhadap jentik dan penderita atau mantan penderita DBD kemudian membuat pemetaan bersama. Dengan curah pendapat masyarakat diajak menganalisa bersama mengenai penyebab penyakit, cara penularan, akibat penyakit sampai dampak ekonomi yang ditimbulkan. Juga penting mengajak masyarakat memikirkan bahwa keberadaan jentik di satu rumah tidak hanya membahayakan isi rumah itu saja, tetapi juga membahayakan para tetangganya. Dari situlah pemicuan dimulai. Dengan begitu diharapkan muncul kesadaran bersama bahwa penanggulangan DBD harus dilaksanakan oleh masyarakat secara bersama-sama. Dan mereka sendirilah yang harus memulai dan merencanakan semuanya.
Pemicuan tersebut di atas mirip dengan yang biasa kita lakukan dalam CLTS, yaitu transct walk, pemetaan, analisa partisipatif, pemicuan komitmen masyarakat, pembentukan komite masyarakat, dan seterusnya. Pelaksanaannya sangat praktis, spontanitas, tidak bersifat seremonial, tidak menggurui, tidak memerintah, tidak upper and lower dan murah. Semua terserah masyarakat itu sendiri.
Dari pengalaman pelaksanaan kegiatan di tiga dusun tersebut menunjukkan tingkat partisipasi yang cukup tinggi. Keterlibatan masyarakat melakukan pemeriksaan jentik berkala meningkat. Ternyata banyak sukarelawan yang bersedia mendukungnya, sehingga kader kesehatan / posyandu tidak lagi sibuk memeriksa jentik dari rumah ke rumah. Bukankah para kader posyandu sudah cukup sibuk dengan program lainnya? Anggota masyarakat biasalah yang kemudian menjadi juru pemantau jentik sukarela, tentu saja harus dibekali skill untuk itu dengan on the job trining. Dalam pemicuan, masyarakat bermusyawarah di antara mereka dalam membuat jadwal pemerikasaan jentik dan kegiatan 3M-plus serta siapa saja personil yang melaksanakannya. Penandaan rumah dilakukan oleh para jumantik sukarela tersebut. Tanda merah disepakati untuk dibubuhkan pada kartu rumah yang ada jentiknya. Kesepakatan-kesepakatan telah tercapai di tiga dusun ini, semuanya mengikat anggota masyarakat seperti yang telah disepakati bersama, termasuk adanya sangsi sosial bagi keluarga yang berturut-turut positif ada jentik.
Setiap pemicuan selalu diikuti pembentukan komite masyarakat, demikian pula dengan program ini. Komite inilah yang kemudian melakukan penggerakan pelaksanaan, pemantauan dan pertemuan evaluasi di tingkat dusun sebulan sekali. Mereka juga menyepakati dan menunjuk siapa yang berwenang mengawasi pelaksanaannya, bisa ketua komite atau tokoh lain yang mereka hormati. Berbagai hal yang menyangkut pelaksanaan kegiatan, termasuk masalah-masalah yang timbul serta pemecahannya kemudian dibahas dalam pertemuan bulanan yang diselenggarakan oleh komite.
Begitulah Kecamatan senduro melaksanakan pemberdayaan masyarakat untuk menanggulangi DBD melalui pemicuan ala CLTS. Harapan yang ingin dicapai dan sekaligus menjadi indikator keberhasilan adalah ABJ (anka bebas jentik) >95% dan terjadi penurunan kasus penyakit DBD. Keberhasilan indikator kedua paling cepat dinilai setelah satu tahun pelaksanaan. Mudah-mudahan semuanya berjalan dengan lancar dan berhasil dan bisa direplikasikan ke desa-desa yang lain. Bagaimana dengan pengalaman anda, kita bisa berbagi bukan?
Metode pemberdayaan masyarakat yang dikenal dengan CLTS sudah terbukti sangat efektif. Dengan metode ini masyarakat se-Kecamatan Senduro yang terdiri dari 12 desa telah merdeka dari perilaku buang air besar sembarangan. Tidak hanya itu, tahun lalu Kecamatan Gucialit yang letaknya bersebelahan dengan Senduro telah lebih dahulu merdeka dari perilaku buang air besar tidak sehat juga dengan metode yang sama.
Sesuatu yang khas pada CLTS ialah kegiatan pemicuan terhadap masyarakat. Bila dilaksanakan dengan baik ternyata pemicuan tersebut mampu mengangkat kesadaran masyarakat untuk mengambil tanggung jawab penuh dalam hal sanitasi total. Upaya subsidi penuh oleh pemerintah, stimulan pembuatan jamban, serta penyuluhan konvensional sudah biasa dilakukan. Tetapi puluhan tahun upaya tersebut ternyata belum mampu memerdekakan masyarakat dari buang air besar sembarangan. Ternyata dengan CLTS, perubahan bisa tercapai lebih cepat. Tidak perlu menunggu berpuluh tahun, cukup beberapa minggu perdusun sudah 100% BAB di jamban.
Karena itulah maka kami terinspirasi melakukan metode yang sama untuk kegiatan penanggulangan DBD. Kegiatan PSN tidak lagi berdasar instruksi dari atas tetapi benar-benar buttom up. Selama ini PSN lebih banyak dikomando oleh pemerintah atau sektor terkait melalui gerakan yang bersifat top down. Dan ternyata kasus DBD tidak berkurang, malah ada kecenderungan dari tahun ke tahun meningkat. Di jaman di mana masyarakat sudah tidak takut pada penguasa tentunya lebih sulit untuk memastikan masyarakat selalu menuruti instruksi dari atas yang dalam hal ini antara lain instruksi melaksanakan PSN. Karenanya, hanya kesadaran masyarakatlah kunci keberhasilan PSN. PSN serentak tidak mungkin terlaksana berkelanjutan sepanjang tahun kecuali atas prakarsa dari masyarakat sendiri. Dan kita semua tahu kalau sifat serentak dan berkelanjutan sepanjang tahun dalam PSN adalah kunci keberhasilan penggulangan DBD. Itulah mengapa harus buttom up.
Kami percaya bahwa masyarakat desa bisa mengerti dan memahami keadaan dan kebutuhan mereka sendiri. Bahkan mungkin lebih mengerti dari pada petugas kita. Biarkan warga bermusyawarah merencanakannya sendiri, melaksanakan dan menilainya sendiri tentang berbagai upaya yang dianggap perlu. Mereka pasti bisa karena mereka pasti memiliki kapabilitas dan solidaritas untuk itu. Dengan begitu, petugas kesehatan dan dinas lintas sektor tinggal berperan sebagai fasilitator saja.
Program penanggulangan DBD dengan metode pemicuan ala CLTS di Kecamatan Senduro telah dimulai oleh masyarakat tiga dusun endemis DBD di Desa Purworejo, Sarikemuning dan Senduro. Dengan dukungan penuh Muspika dan pemerintah desa kami melakukan pemicuan di ketiga dusun tersebut. Kegiatan dimulai dengan melakukan survey lapangan bersama masyarakat terhadap jentik dan penderita atau mantan penderita DBD kemudian membuat pemetaan bersama. Dengan curah pendapat masyarakat diajak menganalisa bersama mengenai penyebab penyakit, cara penularan, akibat penyakit sampai dampak ekonomi yang ditimbulkan. Juga penting mengajak masyarakat memikirkan bahwa keberadaan jentik di satu rumah tidak hanya membahayakan isi rumah itu saja, tetapi juga membahayakan para tetangganya. Dari situlah pemicuan dimulai. Dengan begitu diharapkan muncul kesadaran bersama bahwa penanggulangan DBD harus dilaksanakan oleh masyarakat secara bersama-sama. Dan mereka sendirilah yang harus memulai dan merencanakan semuanya.
Pemicuan tersebut di atas mirip dengan yang biasa kita lakukan dalam CLTS, yaitu transct walk, pemetaan, analisa partisipatif, pemicuan komitmen masyarakat, pembentukan komite masyarakat, dan seterusnya. Pelaksanaannya sangat praktis, spontanitas, tidak bersifat seremonial, tidak menggurui, tidak memerintah, tidak upper and lower dan murah. Semua terserah masyarakat itu sendiri.
Dari pengalaman pelaksanaan kegiatan di tiga dusun tersebut menunjukkan tingkat partisipasi yang cukup tinggi. Keterlibatan masyarakat melakukan pemeriksaan jentik berkala meningkat. Ternyata banyak sukarelawan yang bersedia mendukungnya, sehingga kader kesehatan / posyandu tidak lagi sibuk memeriksa jentik dari rumah ke rumah. Bukankah para kader posyandu sudah cukup sibuk dengan program lainnya? Anggota masyarakat biasalah yang kemudian menjadi juru pemantau jentik sukarela, tentu saja harus dibekali skill untuk itu dengan on the job trining. Dalam pemicuan, masyarakat bermusyawarah di antara mereka dalam membuat jadwal pemerikasaan jentik dan kegiatan 3M-plus serta siapa saja personil yang melaksanakannya. Penandaan rumah dilakukan oleh para jumantik sukarela tersebut. Tanda merah disepakati untuk dibubuhkan pada kartu rumah yang ada jentiknya. Kesepakatan-kesepakatan telah tercapai di tiga dusun ini, semuanya mengikat anggota masyarakat seperti yang telah disepakati bersama, termasuk adanya sangsi sosial bagi keluarga yang berturut-turut positif ada jentik.
Setiap pemicuan selalu diikuti pembentukan komite masyarakat, demikian pula dengan program ini. Komite inilah yang kemudian melakukan penggerakan pelaksanaan, pemantauan dan pertemuan evaluasi di tingkat dusun sebulan sekali. Mereka juga menyepakati dan menunjuk siapa yang berwenang mengawasi pelaksanaannya, bisa ketua komite atau tokoh lain yang mereka hormati. Berbagai hal yang menyangkut pelaksanaan kegiatan, termasuk masalah-masalah yang timbul serta pemecahannya kemudian dibahas dalam pertemuan bulanan yang diselenggarakan oleh komite.
Begitulah Kecamatan senduro melaksanakan pemberdayaan masyarakat untuk menanggulangi DBD melalui pemicuan ala CLTS. Harapan yang ingin dicapai dan sekaligus menjadi indikator keberhasilan adalah ABJ (anka bebas jentik) >95% dan terjadi penurunan kasus penyakit DBD. Keberhasilan indikator kedua paling cepat dinilai setelah satu tahun pelaksanaan. Mudah-mudahan semuanya berjalan dengan lancar dan berhasil dan bisa direplikasikan ke desa-desa yang lain. Bagaimana dengan pengalaman anda, kita bisa berbagi bukan?
CLTS: Pengalaman Senduro Berhasil ODF Tingkat Kecamatan
Pemberdayaan masyarakat dengan metode CLTS (Community Lead Total Sanitation) ternyata mampu memicu partisipasi masyarakat membuat dan menggunakan jamban meskipun tanpa subsidi sepeserpun. Program stop BABS dengan metode CLTS sudah berhasil memerdekakan 100% masyarakat Kecamatan Senduro dari perilaku BABS (BAB Sembaranga) atau ODF (open defecation free).
Deklarasi Kecamatan Senduro ODF telah digelar pada 8 Juli 2008 yang lalu di hadapan Bupati Lumajang dan undangan lainnya, termasuk dari Depkes pusat. Program ini sebenarnya telah diawali sejak tahun 2005 di Desa Purworejo dan tahun 2006 di Desa Bedayu. Setelah dua desa tersebut berhasil ODF kemudian direplikasi ke semua desa di Kecamatan Senduro. Terjadilah peningkatan kepemilikan dan penggunaan jamban secara bermakna di sepuluh desa lainnya. Akan tetapi selama tahun 2007 mengalami perlambatan perkembangan sehingga sampai akhir tahun masih ada 735 kepala keluarga di seluruh kecamatan yang masih BAB sembarangan. Meskipun akses BAB ke jamban sudah 92 % tetapi tidak kunjung ODF seperti yang telah ditargetkan semula.
Ada beberapa faktor yang berhasil diidentifikasi sebagai penyebabnya, antara lain pergantian camat dan beberapa kepala desa yang berpengaruh besar pada komitmen mereka terhadap CLTS. Disamping itu beberapa kepala desa baru ini masih butuh waktu adaptasi untuk dapat menggerakkan masyarakatnya. Sejumlah 735 KK tersebut di atas umumnya merupakan komunitas yang memang dikenal sulit digerakkan. Di Kecamatan Senduro tidak banyak warga yang bisa akses ke sungai. Tetapi realitanya lebih dari setengah jumlah KK yang masih BAB sembarangan ternyata mereka yang tinggal di sepanjang aliran sungai. Sungai inilah yang yang oleh sebagian pihak dianggap sebagai biang sulitnya mereka diajak membuat jamban. BAB di sungai lebih nyaman, murah dan sudah menjadi kebiasaan turun-temurun, kilahnya.
Ternyata komunitas yang terlambat berubah yang tersisa memang jauh lebih sulit difasilitasi. Mereka menolak tawaran perilaku baru dengan sederet argumentasi. Kadang tampak kooperatif saat pemicuan, sepertinya program akan berjalan lancar padahal akhirnya ternyata mereka tidak berbuat apa-apa. Bila ada pemantauan mereka memberi janji belaka untuk membuat jamban atau malah pergi menghindari kunjungan para fasilitator.
Karena itu maka perlu energi baru untuk menuntaskannya dengan gerakan yang lebih intensif. Sehingga pada Pebruari 2008 di awal saya bertugas menjadi Kepala Puskesmas Senduro dicanangkanlah suatu gerakan yang kemudian kami sebut "Gerakan Kecamatan Senduro ODF 2008". Hanya dengan taktik dan strategi yang jitu mereka kemudian secara total bisa menerima perubahan. Memang tidak mudah, tetapi berkat belajar dari setiap kegagalan akhinya para fasilitator berhasil menemukan jalan keluarnya. Tidak ada taktik hebat yang bisa menyelesaikan semua masalah, semua komunitas dan di semua tempat. Ide-ide inovatif harus muncul dari fasilitator di lapangan. Masing-masing komunitas yang berbeda didekati dengan taktik berbeda pula.
Tanpa dukungan lintas sektor dan stakeholder lainnya, adalah mustahil orang kesehatan dalam hal ini puskesmas bisa memberdayakan masyarakat dengan baik. Untuk itu, advokasi dilaksanakan secara intensif guna memperoleh dukungan para pemangku kepentingan. Dengan demikian maka semua potensi lintas program dan lintas sektor dapat dihimpun menjadi satu guna meraih tujuan bersama. Dengan kemasan program baru, yaitu Gerakan Kecamatan Senduro ODF 2008 ternyata lebih menimbulkan optimisme dan semangat baru bagi semua pihak. Dan tanpa keyakinan akan mampu mencapai keberhasilan, mustahil kita dapat memperoleh dukungan luas. Hasilnya adalah dinas lintas sektor seperti Kecamatan, Polsek, Koramil, Diknas, PKK, tokoh masyarakat dan tokoh agama secara bersama-sama mengambil peran aktif menyukseskannya di bawah kepemimpinan Camat Senduro. Dengan begitu program puskesmas telah menjadi program kecamatan, bukan program puskesmas semata. Dan puskesmas tidak lagi sendirian menggerakkan masyarakat dalam CLTS.
Kata kunci keberhasilan gerakan adalah dukungan lintas sektor dan partisipasi masyarakat.Guna memperoleh dukungan dan partisipasi tersebut maka kami menetapkan strategi pokok yang wajib dilaksanakan oleh setiap fasilitator. Stategi yang dimaksud adalah “Empat Strategi Pokok Pemberdayaan Masyarakat” dan akan dibahas pada artikel kami berikutnya. Kesulitan selalu akan dialami sebelum akhirnya mendapat kemudahan. Karenanya, masih perlu prasyarat lagi agar gerakan bisa berhasil. Prasyarat tersebut adalah adanya fasilitator yang kreatif dan pantang menyerah. Ide-ide inovatif tidak begitu saja muncul di kepala saya, tetapi diilhami melalui proses kreatif para fasilitator yang handal di lapangan.
Deklarasi Kecamatan Senduro ODF telah digelar pada 8 Juli 2008 yang lalu di hadapan Bupati Lumajang dan undangan lainnya, termasuk dari Depkes pusat. Program ini sebenarnya telah diawali sejak tahun 2005 di Desa Purworejo dan tahun 2006 di Desa Bedayu. Setelah dua desa tersebut berhasil ODF kemudian direplikasi ke semua desa di Kecamatan Senduro. Terjadilah peningkatan kepemilikan dan penggunaan jamban secara bermakna di sepuluh desa lainnya. Akan tetapi selama tahun 2007 mengalami perlambatan perkembangan sehingga sampai akhir tahun masih ada 735 kepala keluarga di seluruh kecamatan yang masih BAB sembarangan. Meskipun akses BAB ke jamban sudah 92 % tetapi tidak kunjung ODF seperti yang telah ditargetkan semula.
Ada beberapa faktor yang berhasil diidentifikasi sebagai penyebabnya, antara lain pergantian camat dan beberapa kepala desa yang berpengaruh besar pada komitmen mereka terhadap CLTS. Disamping itu beberapa kepala desa baru ini masih butuh waktu adaptasi untuk dapat menggerakkan masyarakatnya. Sejumlah 735 KK tersebut di atas umumnya merupakan komunitas yang memang dikenal sulit digerakkan. Di Kecamatan Senduro tidak banyak warga yang bisa akses ke sungai. Tetapi realitanya lebih dari setengah jumlah KK yang masih BAB sembarangan ternyata mereka yang tinggal di sepanjang aliran sungai. Sungai inilah yang yang oleh sebagian pihak dianggap sebagai biang sulitnya mereka diajak membuat jamban. BAB di sungai lebih nyaman, murah dan sudah menjadi kebiasaan turun-temurun, kilahnya.
Ternyata komunitas yang terlambat berubah yang tersisa memang jauh lebih sulit difasilitasi. Mereka menolak tawaran perilaku baru dengan sederet argumentasi. Kadang tampak kooperatif saat pemicuan, sepertinya program akan berjalan lancar padahal akhirnya ternyata mereka tidak berbuat apa-apa. Bila ada pemantauan mereka memberi janji belaka untuk membuat jamban atau malah pergi menghindari kunjungan para fasilitator.
Karena itu maka perlu energi baru untuk menuntaskannya dengan gerakan yang lebih intensif. Sehingga pada Pebruari 2008 di awal saya bertugas menjadi Kepala Puskesmas Senduro dicanangkanlah suatu gerakan yang kemudian kami sebut "Gerakan Kecamatan Senduro ODF 2008". Hanya dengan taktik dan strategi yang jitu mereka kemudian secara total bisa menerima perubahan. Memang tidak mudah, tetapi berkat belajar dari setiap kegagalan akhinya para fasilitator berhasil menemukan jalan keluarnya. Tidak ada taktik hebat yang bisa menyelesaikan semua masalah, semua komunitas dan di semua tempat. Ide-ide inovatif harus muncul dari fasilitator di lapangan. Masing-masing komunitas yang berbeda didekati dengan taktik berbeda pula.
Tanpa dukungan lintas sektor dan stakeholder lainnya, adalah mustahil orang kesehatan dalam hal ini puskesmas bisa memberdayakan masyarakat dengan baik. Untuk itu, advokasi dilaksanakan secara intensif guna memperoleh dukungan para pemangku kepentingan. Dengan demikian maka semua potensi lintas program dan lintas sektor dapat dihimpun menjadi satu guna meraih tujuan bersama. Dengan kemasan program baru, yaitu Gerakan Kecamatan Senduro ODF 2008 ternyata lebih menimbulkan optimisme dan semangat baru bagi semua pihak. Dan tanpa keyakinan akan mampu mencapai keberhasilan, mustahil kita dapat memperoleh dukungan luas. Hasilnya adalah dinas lintas sektor seperti Kecamatan, Polsek, Koramil, Diknas, PKK, tokoh masyarakat dan tokoh agama secara bersama-sama mengambil peran aktif menyukseskannya di bawah kepemimpinan Camat Senduro. Dengan begitu program puskesmas telah menjadi program kecamatan, bukan program puskesmas semata. Dan puskesmas tidak lagi sendirian menggerakkan masyarakat dalam CLTS.
Kata kunci keberhasilan gerakan adalah dukungan lintas sektor dan partisipasi masyarakat.Guna memperoleh dukungan dan partisipasi tersebut maka kami menetapkan strategi pokok yang wajib dilaksanakan oleh setiap fasilitator. Stategi yang dimaksud adalah “Empat Strategi Pokok Pemberdayaan Masyarakat” dan akan dibahas pada artikel kami berikutnya. Kesulitan selalu akan dialami sebelum akhirnya mendapat kemudahan. Karenanya, masih perlu prasyarat lagi agar gerakan bisa berhasil. Prasyarat tersebut adalah adanya fasilitator yang kreatif dan pantang menyerah. Ide-ide inovatif tidak begitu saja muncul di kepala saya, tetapi diilhami melalui proses kreatif para fasilitator yang handal di lapangan.
Label:
CLTS,
ODF,
partisipasi,
pemberdayaan masyarakat,
stop BABS
Selasa, 04 November 2008
Puskesmas dan Pemberdayaan Masyarakat
Puskemas dan pemberdayaan, inilah judul posting pertama saya. Kedua kata tersebut tak terpisahkan terutama bila dikaitkan dengan upaya penggerakan partisipasi masyarakat. Melalui blog ini saya akan mencoba membuat laporan-laporan pemberdayaan, termasuk pembinaan UKBM, fasilitasi CLTS dan program-program pemberdayaan lainnya.
Puskesmas bukanlah sekedar bentuk mini dari rumah sakit. Dari namanya saja, puskesmas adalah pusat kesehatan dan bukan pusat atau rumah kesakitan sehingga paradigmanya adalah paradigma sehat. Karenanya maka lebih menekankan pada pelayanan promotif dan preventif, disamping tidak meninggalkan pelayanan pengobatan dan rehabilitasi. Di sinilah letak perbedaannya dengan rumah sakit yang lebih menekankan pada pelayanan pengobatan terhadap orang sakit dan rehabilitasi. Dan kalau sudah menyangkut promosi dan prevensi pasti tidak bisa lepas dengan partisipasi masyarakat. Sedangkan partisipasi masyarakat itu sendiri tidak selalu mudah, bahkan lebih sering sangat sulit bila tanpa pemberdayaan masyarakat yang baik.Sebagai pusat pelayanan di lini paling depan, maka puskesmas harus bisa mewujudkan fisi Depkes "Masyarakat mandiri untuk Hidup Sehat". Dan untuk itu lagi-lagi yang harus dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat, karena masyarakat tidak lagi sebagai obyek melainkan subyek pembangunan kesehatan.
Dalam posting selanjutnya saya akan mencoba menulis sedikit pengalaman sebagai kepala puskesmas dalam membina partisipasi masyarakat melalui pemberdayaan. Pengunjung akan saya ajak melihat beberapa kegiatan program kesehatan komunitas, seperti Program santun lansia, pembinaan UKBM (Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat) seperti posyandu gerbangmas versi Kabupaten Lumajang, desa siaga, kabupaten sehat, CLTS (Community Led Total Sanitation) atau STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) atau Stop BAB Sembarangan, penanggulangan masalah gizi berbasis masyarakat, sampai pelaksanaan percontohan PSN menggunakan pemicuan ala CLTS, puskesmas santun lansia serta program inovatif lainnya.Di samping itu, saya akan mencoba menuliskan beberapa artikel yang berkaitan dengan dasar-dasar teori yang berkaitan dengan keberhasilan pemberdayaan masyarakat. Tetapi lebih pada nuansa implementatif dari pada sekedar akademis.
Saya akan kupas satu persatu strategi dan taktik yang merupakan RAHASIA keberhasilan pemberdayaan masyarakat di dua kecamatan berbeda tempat saya bertugas selama 30 bulan sebagai kepala puskesmas. Apa yang akan saya tulis bukan semata pengalaman pribadi, tetapi lebih pada pengalaman kolektif dalam kerjasama tim. Taktik dan strategi tidak begitu saja muncul di kepala, tetapi melalui proses kreatif dan inovatif dari berbagai pihak terutama para staf di lapangan. Dan bersyukur sekali karena saya bekerja bersama dengan orang-orang hebat dalam tim yang tidak hanya menjadi mitra kerja tetapi juga menjadi guru bagi saya.Sukses selalu, semoga bermanfaat.
Puskesmas bukanlah sekedar bentuk mini dari rumah sakit. Dari namanya saja, puskesmas adalah pusat kesehatan dan bukan pusat atau rumah kesakitan sehingga paradigmanya adalah paradigma sehat. Karenanya maka lebih menekankan pada pelayanan promotif dan preventif, disamping tidak meninggalkan pelayanan pengobatan dan rehabilitasi. Di sinilah letak perbedaannya dengan rumah sakit yang lebih menekankan pada pelayanan pengobatan terhadap orang sakit dan rehabilitasi. Dan kalau sudah menyangkut promosi dan prevensi pasti tidak bisa lepas dengan partisipasi masyarakat. Sedangkan partisipasi masyarakat itu sendiri tidak selalu mudah, bahkan lebih sering sangat sulit bila tanpa pemberdayaan masyarakat yang baik.Sebagai pusat pelayanan di lini paling depan, maka puskesmas harus bisa mewujudkan fisi Depkes "Masyarakat mandiri untuk Hidup Sehat". Dan untuk itu lagi-lagi yang harus dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat, karena masyarakat tidak lagi sebagai obyek melainkan subyek pembangunan kesehatan.
Dalam posting selanjutnya saya akan mencoba menulis sedikit pengalaman sebagai kepala puskesmas dalam membina partisipasi masyarakat melalui pemberdayaan. Pengunjung akan saya ajak melihat beberapa kegiatan program kesehatan komunitas, seperti Program santun lansia, pembinaan UKBM (Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat) seperti posyandu gerbangmas versi Kabupaten Lumajang, desa siaga, kabupaten sehat, CLTS (Community Led Total Sanitation) atau STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) atau Stop BAB Sembarangan, penanggulangan masalah gizi berbasis masyarakat, sampai pelaksanaan percontohan PSN menggunakan pemicuan ala CLTS, puskesmas santun lansia serta program inovatif lainnya.Di samping itu, saya akan mencoba menuliskan beberapa artikel yang berkaitan dengan dasar-dasar teori yang berkaitan dengan keberhasilan pemberdayaan masyarakat. Tetapi lebih pada nuansa implementatif dari pada sekedar akademis.
Saya akan kupas satu persatu strategi dan taktik yang merupakan RAHASIA keberhasilan pemberdayaan masyarakat di dua kecamatan berbeda tempat saya bertugas selama 30 bulan sebagai kepala puskesmas. Apa yang akan saya tulis bukan semata pengalaman pribadi, tetapi lebih pada pengalaman kolektif dalam kerjasama tim. Taktik dan strategi tidak begitu saja muncul di kepala, tetapi melalui proses kreatif dan inovatif dari berbagai pihak terutama para staf di lapangan. Dan bersyukur sekali karena saya bekerja bersama dengan orang-orang hebat dalam tim yang tidak hanya menjadi mitra kerja tetapi juga menjadi guru bagi saya.Sukses selalu, semoga bermanfaat.
Langganan:
Postingan (Atom)