Mengenai Saya

Foto saya
Lumajang, Jawa Timur, Indonesia

Jumat, 09 Januari 2009

Jangan Meminta, Datanglah untuk Membantu

Saya sering melihat orang kesehatan meminta tolong pihak lain agar mendukung program-programnya. Dan itu dilakukan dalam rangka advokasi. Tidak jarang seorang petugas sampai memohon sedemikian rupa untuk mendapat dukungan dari pihak yang dianggapnya sebagai tokoh kunci. Memang tidak ada larangan seorang petugas meminta bantuan pihak lain dan mungkin bisa sangat membantu keberhasilan.

Tapi ingat, jangan sampai kebiasaan kita meminta-minta malah berdampak tidak produktif karena beberapa hal:
1. Citra diri kita jadi inferior di mata sasaran advokasi
2. Kita yang butuh bukan mereka
3. Kita hanya merepotkan mereka saja

Kalau hal di atas terjadi maka bargaining position kita jadi lemah. Padahal esensi terpenting dalam proses advokasi adalah negosiasi. Dan keberhasilan negosiasi amat ditentukan oleh bargaining position tersebut.

Misalnya ketika saya advokasi kepada camat tentang pembinaan lansia maka yang saya usahakan adalah bagaimana sasaran advokasi tersebut bisa melihat atau mengetahui keuntungan-kentungannya bila mendukung kegiatan tersebut. Kasarnya dia dapat apa bila kegiatan ini berhasil. Keuntungan yang saya maksud sangat luas dan tidak selalu keuntungan financial. Jadi saya datang tidak untuk memohon pertolongan, melainkan menawarkan kerja sama saling menguntungkan.

Seperti seorang petugas penjualan, kita mesti bisa menunjukkan keunggulan product yang kita tawarkan. Tunjukkan dulu value yang akan dia terima sebelum kita menuntut suatu harga tertentu. Yang penting adalah bagaimana kita membuat tangieble lebih dulu. Dengan begitu sasaran advokasi tidak merasa sedang memberi kepada saya melainkan sedang membayar atas apa yang akan diterimanya bila program sudah berhasil kelak.

Karena itulah maka saya sering mengingatkan semua staf puskesmas agar dalam melaksanakan advokasi jangan pernah meminta-minta. Datanglah kepada mereka untuk membantu karena orang yang memberi itu lebih berwibawa dari pada yang meminta. Bukankah Nabi Muhammad pernah mengajarkan bahwa tangan di atas lebih utama dari pada tangan di bawah? Maksudnya adalah jelas bahwa orang beriman agar lebih suka memberi dari pada menerima pemberian. Kata membantu yang saya maksud tidak berarti selalu menyuapi mereka. Dalam konsep pemberdayaan sekali lagi saya tekankan perlunya kita percaya bahwa orang lain juga memiliki kapabilitas.

Ketika memberi kita mesti menempatkan diri pada posisi yang benar agar tidak terkesan sedang meminta. Saya pernah dapat cerita dari seorang kader kesehatan di satu kelurahan di Kecamatan Kota yang baru membagikan kloset gratis kepada warganya yang belum memiliki jamban keluarga. Ternyata sebagian tetap tidak action dengan alasan tidak ada material lainnya. Dan ketika juga diberi material yang mereka maksud secara gratis ternyata tetap saja tidak action. Dan kali ini alasannya adalah karena pihak peberi tidak sekalian mengerjakannya juga. Kalau memang mau saya BAB di jamban maka buatkan saya jamban dan saya terima jadi, kalau tidak maka biarlah saya tetap BAB di sungai, kata mereka. Ini adalah kisah nyata. Dan setelah saya telusuri ternyata pihak kader dan timnya telah gagal memposisikan dirinya. Sehingga sebagian orang beranggapan yang butuh keberhasilan jambanisasi adalah kader dan tim puskesmas, bukan masyarakat. Ngapain saya yang disuruh repot. Kira-kira begitulah gumam mereka.

Tahun lalu Puskesmas Senduro pernah merawat inap seorang balita gizi buruk. Sebenarnya orang tuan balita yang terkesan kurang terurus ini menolak dirujuk ke puskesmas dengan alasan tidak punya uang dan tidak sanggup menunggui selama perawatan karena harus bekerja cari makan. Karena desakan bidan desanya akhirnya bersedia dirawat inap di puskesmas. Meskipun tidak punya kartu jamkesmas balita ini dirawat secara gratis. Ternyata tiap hari orang tua balita ini mengancam pulang paksa dengan tuntutan macam-macam, misalnya minta jaminan akomodasi semua yang menunggui dan bahkan untuk pulang ganti bajupun minta antar jemput bidan desanya. Kalau tidak dipenuhi maka akan menolak dirawat. Ini kasusnya mirip dengan kasus bantuan jamban di atas. Sudah membantu tapi selalu pada posisi salah.

Terapi yang saya berikan pada masalah tersebut adalah:
1. Petugas puskesmas tidak usah menahannya kalau pulang paksa
2. Seorang petugas promkes saya tugaskan melakukan penjelasan seperlunya kepada orang tua pasien tentang persoalan gizi buruk
3. Bidan desa menyerahkan persoalan ini kepada kepala desa setempat.

Terapi tersebut dimaksudkan agar:
1. Mereka tahu yang butuh adalah mereka bukan puskesmas
2. Puskesmas hanya membantu
3. Membentuk jejaring dengan pihak lain (kepala desa dan perangkatnya) agar ikut mengambil peran
Dan ternyata hasilnya sangat memuaskan. Bukan saja mereka mau dirawat tapi juga bersedia melakukan beberapa perubahan perilaku sehat dan bahkan menjadi agen perubahan bagi masyarakat sekitarnya dan membantu beberapa program kesehatan lain di kampungnya.

Yang perlu diperhatikan ketika melakukan advokasi:
1. Membantu, bukan meminta
2. Buatlah sasaran advokasi memahami keuntungan yang akan diterimanya
3. Barulah kita formulasikan peran yang harus mereka lakukan.
Dan bagaimana menurut Anda?

1 komentar:

  1. Wah...jadi inget waktu saya KKN sama Magang. Ternyata cara yang saya dan temen-temen lakukan salah semua ya. Bener kata bapak, jadi pengen mengulang dari awal...

    BalasHapus

Klik di bawah ini untuk melihat daftar semua tulisan saya